Asal usul masyarakat Bolaang Mongondow
Dan urutan bupati yang menjabat
Berdasarkan
riwayat atau penuturan secara turun-temurun sesuai Metodologi Penulisan
Sejarah dengan menggunakan Analisa Kausal dan dengan menggunakan
pendekatan Multidimensi, bahwa kedatangan Nenek Moyang Bolaang Mongondow
melalui Cerita Sejarah yang didukung oleh kenyataan dalam interaksi
sosial maupun aktifitas masyarakat dari dulu hingga sekarang. Nenek
moyang penduduk Bolaang Mongondow mulanya bertempat tinggal di muara
Sungai Sangkub Bintauna yang awalnya terdiri dari 2 (dua) pasang Suami
Istri masing-masing GUMALANGIT (Turun dari Langit) dan istrinya TENDEDUATA (Putri dari Dewa) serta TUMOTOI BOKOL (Meniti dari Ombak) dan istrinya TUMOTOI BOKAT (Keluar dari Pecahan Ombak), pasangan GUMALANGITmemperoleh keturunan Puteri bernama DUMONDON, sedangkan pasangan TOMOTOI BOKOL mendapat keturunan Putera bernamaSUGEHA, dimana setelah Dewasa mereka dinikahkan.
Seiring
dengan perkembangan dengan perjalanan waktu keturunan mereka berkembang
menjadi besar dan berkelompok-kelompok serta hidup bersama dengan
tempat tinggal bernama LIPUNG, dan dengan
perkembangannya kedua keturunan ini mulai memasuki pedalaman dan hidup
berpindah-pindah (Nomaden), kemudian menyebar untuk mendapatkan
pemukiman baru dipimpin oleh para BOGANI-NYA menyebar diseluruh pelosok Negeri, dan dari keturunan GUMALANGIT menyebar ada yang ke HUNTUK BALUDAWA
dan ada juga masuk kepedalaman Bolaang Mongondow yang waktu itu masih
berbentuk Danau dan sebagai bukti terhadap salah satu tempat Wilayah
Passi bernama UANGGA (perahu) sebab dulunya di sana digunakan sebagai tempat tambatan perahu.
Masa Pemerintahan
Berdasarkan Legenda dengan penuh Mitologi serta bukti sejarah meriwayatkan bahwa menjelang Abad ke XIV sampai dengan Abad ke XIX, wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow berbentuk Kerajaan-kerajaan yang terdiri dari Empat Kerajaan Besar yakni Kerajaan Bolaang Mongondow, Kerajaan Bintauna, Kerajaan Kaidipang Besar, dan Kerajaan Bolaang Uki,
dimana dimasa Pemerintahan Kerajaan-kerajaan ini dibawah pengaruh
kekuasaan Belanda/VOC dan Jepang. dan berakhir tahun 1948 setelah keluar
Peraturan Negara Indonesia tentang pembentukan Dewan Raja-raja di
Bolaang Mongondow sebagian dari Sub Bagian Daerah Sulawesi Utara yang
Berpusat di Gorontalo.
Dewan Raja-raja itu berbentuk sebagai berikut:
Ketua: H.J.C. MANOPPO dari Bolaang Mongondow
Anggota: R.S. PONTOH dari Kaidipang
M. DATUNSOLANG dari Bintauna
A.H. GOBEL dari Bolaang Uki
Dewan
raja-raja ini berakhir Bulan Mei 1950 dengan adanya Gerakan Rakyat
Menentang Sistem Feodal, yang disponsori Partai Syarikat Islam Bolaang
Mongondow menuntut Pembubaran Pemerintah Swapraja yang dianggap kaki
tangan Kolonial yang menghambat arah dan jiwa Demokrasi NKRI yang
diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945 dan menuntut agar Bolaang
Mongondow dijadikan Kabupaten lepas dari Kabupaten Sulawesi Utara yang
berpusat di Gorontalo. Akhirnya dalam suatu pertemuan besar yang
dihadiri ribuan massa PSII dan massa lainnya yang dipimpin ZAKARIA IMBAN, dewan raja-raja dibubarkan dan dengan kerelaan pengunduran diri oleh H.J.C. Manoppo sebagai Ketua Dewan Swapraja.
Pada
bulan Desembar 1950, proses dimasukannya Wilayah Bolaang Mongondow
kedalam wilayah Kabupaten Sulawesi Utara yakni Daerah Sub kabupaten
Bolaang Mongondow yang oleh Pemerintah Pusat mengangkat Frans Papunduke Mokompit
sebagai Kepala Daerah Sub Kabupaten Bolaang Mongondow yang berlangsung
sampai bulan Maret 1954 (4 Tahun 5 Bulan). dan merupakan Kepala Daerah
Kabupaten yang Otonom, dan merupakan masa peralihan yang berlangsung
hingga Bulan Maret 1954, yang sejak Bolaang Mongondow menjadi Daerah
Otonom Tingkat II setingkat Kabupaten pada Tanggal 23 Maret 1954.
Bahwa
selama kurung waktu tahun 1954 hingga awal tahun 1969 situasi dan
kondisi stabilitas maupun pembangunan dalam keadaan darurat karena pada
masa ini terjadi pergolakan-pergolakan atau pemberontakan terutama oleh
perjuangan Rakyat Semesta (PERMESTA) dimana Bolaang
Mongondow dijadikan basis terakhir perjuanganya akibat Rakyat Bolaang
Mongondow paling parah dibandingkan dengan Gorontalo dan Minahasa,
Bolaang Mongondow hancur total dibumihanguskan menjadi puing-puing
berserahkan sekitar tahun 1963.
Akan tetapi dengan semangat yang
membara rakyat dan Pemerintah yang terbentuk, melaksanakan Pembangunan
walaupun dalam bentuk-bentuk darurat hingga tahun 1968, dan Pembangunan
secara terencana dan sungguh-sungguh baru dimulai sejak dicanangkannya
Repelita I tanggal 1 April 1969 dimana di Kabupaten Bolaang Mongondow
pencanangannya dipusatkan di Kecamatan Modayag dengan Pencakulan Pertama
Pembuatan Jalan Darat Tobongon– Molobog oleh Bupati Bolaang Mongondow Oemarudin Nini Mokoagow dengan Nama Proyek Tomol (Tobongon – Molobog), jalan Uuan ke Molibagu dengan nama Proyek Umol (Uuan – Molibagu) dan jalan baru Pinogaluman ke Doloduo dengan nama Proyek Pindol (Pinogaluman-Doloduo) dan selanjutnya hingga sekarang ini.
Keberhasilan
pembangunan di Kabupaten Bolaang Mongondow setelah menjadi Daerah
Otonom Tingkat II, tidak lepas dari peran dan kesungguhan Para Bupati
yang silih berganti memimpin Daerah ini. Hingga saat ini dibawah
kepemimpinan Hi. Salihi B Mokodongan yang memimpin
Kabupaten ini sejak 16 Juli 2011 hingga Juli 2016, dimana perkembangan
pembangunan yang sangat signifikan dengan kebutuhan masyarakat Bolaang
Mongondow diantaranya terjadi Pemekaran Kecamatan dari 15 Kecamatan
Menjadi 32 Kecamatan yang terdiri dari 352 Desa/Kelurahan. Prestasi
gemilang serta usaha yang tidak pernah mengenal Kata menyerah
mendatangkan hasil yang perlu dicatat dengan TINTA EMAS
dalam Sejarah Perjalanan Kabupaten Bolaang Mongondow dengan keluarnya
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2007 Tentang Pembentukan Kota Kotamobagu dan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Pembentukan Kabupaten Bolaang
Mongondow Utara, dimana kedua Daerah hasil Pemekaran itu, telah
diresmikan pada tanggal 23 Mei 2007 oleh Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia Ad Interim Bapak Widodo A.S, upaya dan kerja
keras Bupati beserta seluruh stakeholders tidak berhenti sampai di situ
ini terbukti dengan disahkannya 2 daerah otonom yang baru yaitu
Undang-undang Nomor 29 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kabupaten Bolaang
Mongondow Timur dan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2008 Tentang
Pembentukan Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan dimana peresmiannya
dilaksanakan pada tanggal 30 September 2008 oleh Menteri Dalam Negeri,
sehingga saat ini Bolaang Mongondow Bersatu telah menjadi 4 Kabupaten
dan 1 Kota.
Dengan keberadaan ini maka sangat layak bagi Bolaang
Mongondow Bersatu untuk membentuk 1 Provinsi yang baru, cita-cita luhur
ini tentunya harus ditopang oleh kita semua dengan upaya, kerja keras,
sehingga Visi dan Misi yang dicanangkan oleh Bupati bersama seluruh
komponen masyarakat yaitu: '‘Terwujudnya Bolaang Mongondow Yang Berbudaya, Berdaya Saing, dan Sejahtera’' secara perlahan mulai tergapai.
Adapun Bupati/Bupati yang pernah memimpin dan perlu mendapat catatan'‘TINTA EMAS’' disanubari Rakyat Totabuan dengan massa periode Kepemimpinan adalah sebagai berikut:
1. Anton Cornelis Manoppo (Maret 1954-Juni 1954)
2. Henny Yusuf Cornelis Manoppo (Juni 1954-September 1959)
3. Mayor Inf Daan Olii (September 1959-Juni 1965)
4. Piet Johanis Manoppo (Juni 1965-Agustus 1966)
5. Letkol CPM Oemarudin Nini Mokoagow (Agustus 1966-Januari 1976)
6. Drs Hi Syamsudin Paputungan (Januari 1976-Mei 1976)
7. Letkol Art Inyo Tangkudung (Mei 1976-Januari 1981)
8. Drs Ahmad Nadjamudin (Januari 1981-Mei 1981)
9. Drs Hi Jambat Arsyad Damopolii (Mei 1981-Mei 1991) 2 periode
10. Drs Hi Syamsudin Paputungan (Mei 1991-Mei 1996)
11. Drs Hi Muda Mokoginta (Mei 1996-Mei 2001)
12. Ny Hj Marlina Moha Siahaan (Mei 2000-Mei 2006/Mei 2006-Mei 2011) 2 periode
13. Hi Gun Lapadengan SH (Mei 2011-Juli 2011)
14. Hi Salihi B Mokodongan (Juli 2011 s/d 2016).
15,Adrianus Nikson Watung (saat ini PJS)
Jumat, 11 November 2016
TARI TUITAN Khas bolaang mongodow
Tari Tuitan adalah Tarian Adat Bolaang Mongondow yang digelar untuk menjemput atau menjamu tamu kehormatan. Biasa juga dipergunakan untuk menjemput dan mengawal pengantin pria saat masuk ke tempat pengantin wanita pada acara akad nikah perkawinan adat Mongondow. Tarian ini dipakai sejak zaman raja-raja Mongondow dan turun temurun menjadi semacam kebiasaan bagi masyarakat apabila ada hajatan pernikahan.
Tari Tuitan adalah Tarian Adat Bolaang Mongondow yang digelar untuk menjemput atau menjamu tamu kehormatan. Biasa juga dipergunakan untuk menjemput dan mengawal pengantin pria saat masuk ke tempat pengantin wanita pada acara akad nikah perkawinan adat Mongondow. Tarian ini dipakai sejak zaman raja-raja Mongondow dan turun temurun menjadi semacam kebiasaan bagi masyarakat apabila ada hajatan pernikahan.
Menurut sumber tarian ini diciptakan dan
dipakai sebagai tarian kerajaan sejak zaman Raja Tadohe,’ karena dalam
tulisan W. Dunnebier Over de Vorsten Van Bolaang Mongondow yang
yang diterjemahkan R.Mokoginta. Dalam buku itu diterangkan bahwa
penetapan ketentuan-ketentuan adat yang terstruktur ditetapkan pada
zaman Pemerintahan Raja Tadohe’ sekitar Tahun 1600. Keterangan yang sama
dapat ditemui pada tulisan-tulisan Bernard Ginupit, sebagai missal.
Tarian ini diperankan oleh 9 (sembilan)
orang personil yang memakai pakaian adat yang sudah ditentukan, dengan
tugas masing-masing 6 (enam) orang sebagai penari; 1 (satu) orang
sebagai pemain alat music; dan 2 (dua) orang sebagai pelaku pesilat yang
akan melakukan duel. Dalam prosesnya, tarian ini menggunakan alat
tombak dan kaleau atau perisai, khusus untuk 6 (enam) orang penari.
Pada prosesnya sebelum pelaksanaan tarian, guhanga (orang tua adat) melakukan dodandonan, yaitu
ucapan-ucapan permohonan kepada leluhur yang disampaikan lewat nyanyian
yang bertujuan untuk meminta agar pada prosesnya leluhur tidak
terlibat, sehingga penari-penari ini tidak kerasukan, mengingat pada
pelaksanaannya penari-penari ini menggunakan benda tajam. Setelah dodandonan selesai
disampaikan, tarian dimulai ketika iring-iringan tamu atau pengantin
pria sudah memasuki halaman dari tempat pengantin wanita. Gerakan tarian
ini dominan persis seperti pertempuran, yaitu memainkan langkah
maju-mundur dan menghunuskan tombak serta mengangkat kaleau.
Khusus pada acara akad nikah, pada
tahapan selanjutnya penari-penari membuat barisan tiga-tiga dan berjalan
bersama mengawal iring-iringan pengantin pria sampai di depan gerbang
pintu masuk tempat pengantin wanita. Di depan gerbang, iring-iringan
akan dicegat oleh satu orang pengawal pengantin wanita, yang kemudian
meminta berduel dengan perwakilan iring-iringan pengantin pria, sebagai
satu persyaratan mutlak untuk masuk ke dalam, Pengawal pengantin pria
harus mengalahkan pengawal pengantin wanita tersebut. Hal ini
menggambarkan pada zaman dahulu pria yang akan mempersunting wanita
adalah pria yang terbukti mempunyai kekuatan, karena kalau lemah maka
tidak bisa diijinkan masuk kedalam rumah sang wanita, artinya tidak akan
pernah mempersuntingnya.
Selanjutnya, setelah pengawal pengantin
wanita ditaklukkan, iring-iringan pengantin pria dipersilahkan masuk
untuk menyerahkan seserahan yang dibawa serta melangsungkan pernikahan
dan tetap dikawal oleh kelompok tuitan tadi.
SENI YANG ADA DI BOLAANG MONGONDOW
Seni Musik
- KANTUNG, adalah alat musik yang dimainkan dengan cara dipetik, terbuat dari tempurung kelapa sebaga resonansi dan berdawai satu.
- RABABO, adalah alat musik yang digesek resonansi terbuat dari tempurung dengan dawai satu.
- TANTABUA, adalah alat musik terbuat dari bambu, kulitnya dijadikan dawai yang lebarnya sekitar 1 cm. dekat dawainya dibuat lubang dengan ukuran sekitar 3 x 3 cm, untuk kemudian dipukul dengan kayu.
- BANSI’ atau TUALING, adalah alat musik yang terbuat dari bambu berlubang satu
- OLI-OLI’, adalah alat musik terbuat dari kulit pelepah enau hutan, pakai semacam lidah-lidah, pada ujung kiri diikatkan tali penahan dan pada ujung kanan tali yang ditarik-tarik agar lidahnya bergetar dan kemudian menimbulkan bunyi.
- TOLALO, adalah alat musi yang terbuat dari dua kerat bambu kering ukuran 15 x 3 x ½ cm.
- KULINTANG, adalah alat musik dari logam, perangkatnya terdiri dari mung-mung 5 sampai 7 buah berderet dan dimainkan dengan cara dipukul.
- GAMBUS, adalah alat musik bentuknya seperti gitar kecil dan dimainkan dengan cara dipetik.
- REBANA, adalah alat musik dari kulit hewan yang di ikatkan pada kayu yang sudah dirancang bulat/bundar dan dimainkan dengan cara ditepuk atau dipukul.
Seni Tari
- TARI TAYOK, adalah tarian yang dilakukan oleh seorang bolian wanita, yang sambil menari juga menyanyi dan diiringi tabuhan gimbal dan golantung (gong kecil dan gong besar). Tarian ini dimainkan pada acara ritual adat pengobatan dan lainnya.
- TARI JOKE’, tari yang dilakukan oleh seorang atau lebih pria pada acara-acara gembira dan iringi oleh lagu Bondit, Tolibang atau Odenon.
- TARI MOSAO, adalah tarian yang dimainkan oleh pria pada saat mengawal raja atau pengantin menuju ke rumah pengantin wanita. penari memakai pedang dan perisai serta diiringi oleh tabuhan gendang.
- TARI RANGKO atau TARI REGAI, adalah sejenis tari silat untuk memperlihatkan keperkasaan.
- TARI TUITAN, adalah tarian yang dimainkan oleh barisan pengawal Raja dengan menggunakan tombak dan perisai serta pakaian kebesaran Adat lengkap dengan selempang dan ikat kepala. tarian diiringi dengan tabuhan gendang.
- TARI DANA-DANA, adalah tarian yang dibawa bersamaan dengan masuknya Islam di wilayah Kerajaan Bolaang Mongondow. tarian ini dimainkan oleh sekelompok orang bisa dicampur laki-laki dan perempuan dan bisa juga tidak, dan diringi oleh tabuhan rebana serta gambus.
Seni Sastra
- SALAMAT, sejenis sanjak bersanjak yang diucapkan pada upacara tertentu, seperti pada acara pernikahan dan suka cita lainnya
- ITU-ITUM, sejenis sanjak yang berisi doa permohonan pada Ompu Duata (Yang Maha Kuasa) agar apa yang diharapkan bisa terkabul.
- ODI-ODI, sejenis sumpah yang diucapkan pada upacara atau ritual Adat tertntu, seperti pada penetapan dan pengesahan suatu aturan yang harus dilaksanakan dan dipatuhi. odi-odi diyakini dapat menjadi semacam doa dan sumpah yang bisa memberikan sanksi secara otomatis (semacam bala) apabila ada ketentuan yang dilanggar.
Seni Rupa
- SENI PATUNG, sekitar abad – 17 pada masa Pemerintahan Raja/Punu’ Tadohe’/Sadohe’ (Raja ke-8) didirikan tempat-tempat penyembahan kepada Ompu Duata (Yang Maha Kuasa) disetiap Desa yang dinamakan Sigi. Pada setiap Sigi-sigi tersebut biasanya dibuatkan dua buah patung yang melambangkan Raja dan Permaisuri.
- SENI PAHAT, sejak zaman Raja-raja rumah penduduk Bolaang Mongondow didirikan di atas tiang yang tinggi, pada jendela dan pintu dibuatkan silibok (ventilasi) yang dipahat dengan motif-motif tertentu khas daerah.
- SENI UKIR, dalam temuan-temuan senjata perang pasukan Kerajaan seperti tombak dan perisai terdapat ukiran-ukiran. pada ujung tombak terdapat ukiran dengan motif kotak atau ingkaran, sedang pada perisai terdapat ukiran dengan motif manusia, hewan atau daun-daun.
- SENI LUKIS, sedangkan untuk lebih memperindah perisai para pengawal tersebut ada juga terdapat lukisan-lukisan dengan motif manusia atau hewan dengan warna-warni yang didominasi oleh warna merah, hitam, putih dan kuning.
- SENI KERAJINAN, sejak zaman sebelum masa Kerajaan Bolaang Mongondow atau tepatnya Masyarakat masih berupa kelompok yang berpindah-pindah tempat, dipimpin oleh Manggopa Kilat (pemimpin sebelum Raja/Punu’ pertama Mokodoludut). pada saat itu istri beliau Boki’ Salamatiti telah mengajarkan kepada kaum ibu zaman keterampilan moningkoi (memintal benang) dan mogabol (menenun).
Rumah Adat Bolaang Mongondow
Rumah Adat Bolaang Mongondow asli yang dihuni oleh masyarakat yang rata-rata sudah berumur diatas 80 tahun
olaang Mongondow adalah salah satu daerah di wilayah Propinsi Sulawesi Utara dimana daerah ini sangat kaya dengan kabudayaan, karena oleh Raja-raja terdahulu semua system dan aspek kehidupan masyarakat diatur dengan tatanan adat. Luas daerah Bolaang Mongondow sekitar 8000 KM2 atau 54% dari luas daerah Propinsi Sulawesi Utara, yang sejak Tahun 2008 Bolaang Mongondow telah mengalami pemekaran daerah sampai dengan saat ini telah mekar menjadi 4 Kabupaten (Bolaang mongondow, Bolaang Mongondow Timur, Bolaang Mongondow Utara, Bolaang Mongondow Selatan) dan 1 Kotamadya (Kota Kotamobagu). Bahkan saat ini sudah hampir rampung untuk Bolaang Mongondow di tetapkan menjadi satu Daerah Propinsi baru dengan nama Propinsi Bolaang Mongondow Raya.
Salah satu hal yang cukup menarik di
Bolaang Mongondow Raya ini adalah masih terdapat rumah-rumah adat asli
yang dihuni oleh masyarakat yang rata-rata sudah berumur diatas 80
tahun.
Hal ini terbukti dengan didapatinya oleh
Penyuluh Budaya dua buah rumah adat di daerah Desa Kopandakan Kecamatan
Kotamobagu Selatan Kota Kotamobagu yang di huni oleh Keluarga Babuyongki terinformasi
rumah tersebut adalah peninggalan dari orang tua sekitar tiga generasi
diatas mereka. Kondisi rumah tersebut masih dalam keadaan baik dengan
belum di rehab sedikitpun kecuali cat rumah itu sudah di perbaharui tiap
tahunnya, artinya seluruh bahan dan model rumah tersebut masih asli
buatan Masyarakat Mongondow zaman dulu.
Ini merupakan aset kebudayaan daerah
yang perlu dijaga karena dari bangunan ini paling tidak kita bisa
mengetahui bagaimana peradaban masyarakat Bolaang Mongondow Zaman itu,
dimana mereka sudah manguasai tekhnik membuat bangunan yang kokoh, kuat
dan bisa tahan lama, bahkan masih jauh lebih kuat jika dibanding dengan
tekhnik masa kini.
Berkunjung ke Makam Raja Pertama Bolaang Mongondow di Kotamobagu
BERKUNJUNG ke Kotamobagu, sempatkan waktu Anda mendatangi makam raja pertama Kerajaan Bolaang Mongondow di Kelurahan Matali, Kecamatan Kotamobagu Timur. Tempatnya mudah ditemukan, berada tepat di depan Jalan Raya Kelurahan Matali mengarah ke Kelurahan Pobundayan, tak jauh dari Masjid DC Manoppo.
Selain makam Paduka Raja Datu Cornelis Manoppo, di sana juga tampak beberapa makam, di antaranya anak, cucu, menantu, sampai kerabat terdekat raja. Makam ayahanda DC Manoppo yaitu Aboe Dangoe Manoppo pun ada di sana sejak 1867 yang sekaligus menjadi makam pertama yang berada di kompleks itu.
DC Manoppo merupakan raja pertama yang memerintah kerajaan Bolaang Mongondow sejak 3 Oktober 1905 sampai ia wafat pada 12 Februari 1927. Peninggalan DC Manoppo yang sampai saat ini masih dilestarikan di Bolaang Mongondow raya (BMR), termasuk Kota Kotamobagu, yakni tata letak lapangan. Beliau yang mengusulkan perencanaan tata letak lapangan.
"Coba perhatikan lapangan yang ada di desa dan kelurahan, pasti di sana juga ada ada masjid dan kantor desa kelurahan. Paduka Raja Datu Cornelis Manoppo yang mengatur itu. Dulu hanya ada 27 desa berarti ada 27 lapangan," ujar Abdullah Mokoginta, satu generasi dari Raja Manoppo.
DC Manoppo juga mengajarkan kepada masyarakat bagaimana tata cara bercocok tanam dan mengatur rumah agar berhadapan dengan jalan. "Waktu tahun 1900 petani itu sembarang membuat rumah, tidak teratur tata letaknya. Ketika Raja DC Manoppo memimpin maka teraturlah rumah penduduk seperti sekarang ini berhadapan ke jalan raya," ujarnya.
Di kompleks makam yang berukuran 7x10 meter ini juga ada beberapa makam orang yang berperan penting dalam pemerintahan Bolaang Mongondow. Anggota DPR RI pada 1950 yang pertama mewakili BMR yakni Anton C Manoppo. Ia adalah anak tertua Kartini Manoppo, satu di antara istri Presiden Soekarno.
"Ketika Bolmong menjadi daerah kabupaten dan tidak lagi ada sistem kerajaan, beliau menjadi penjabat bupati pertama Bolmong. Abo' Anton C Manoppo lahir pada 23 November 1906 di Kotamobagu dan wafat pada 17 Desember 1982 di Jakarta. Beliau merupakan anak dari Raja DC Manoppo," kata Abdullah.
Ada juga makam Hj Bua' Emmy Kalsum Gerung Waworuntu, satu di antara pendiri Universitas Dumoga Kotamobagu.
"Dulu itu dinamakan UDK karena di sana ada flora dan fauna yang langka. Namanya dulu Universitas Dumoga Bone. Beliau merupakan besan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Prof Fuad Hasan waktu itu. Anak laki-lakinya menikah dengan anak perempuan Pak Fuad Hasan," ujarnya.
Ada juga makam dua anak dari DC Manoppo yang meninggal karena sakit di usia muda sekitar di bawah 10 tahun.
Di sekitar situ juga ada makam kerabat, seperti Almarhum Djogoegoe Abo Pusung Abraham Sugeha, kakek dari mantan Bupati Bolmong Marlina Moha Siahaan. Juga ada makam AH Gobel, anak Raja Bolaang Uki yang merupakan kerabat dekat Raja DC Manoppo.
Makam Raja DC Manoppo seringkali dikunjungi masyarakat BMR.
"Biasanya ramai nanti menjelang bulan suci Ramadan. Mereka yang merupakan keturunan Raja DC Manoppo datang melakukan ziarah, tak hanya dari sekitar BMR, dari Jakarta juga datang ke Kotamobagu menyempatkan berziarah," ujar Abdullah
Sejarah Patung Bogani di Tanah Totabuan
Menurut sejarah, Alex B. Wetik yang merupakan salah satu pendiri Jurusan Seni Rupa di Lembaga IKIP Manado atau UNIMA, ia adalah pelukis sekaligus pematung yang mendesain Patung Bogani di Kelurahan Kotobangon. Ia pun dikenal membuat patung di antaranya, Patung Sam Ratulangi, Patung Yesus di Gereja Katolik St. Ignasius Manado, Relief di Gedung Bukit Inspirasi Tomohon, Patung Sam Ratulangi di Tondano, Patung Sarapung dan Korengkeng di Tondano dan Patung Bogani di Kotamobagu, pun masih banyak karya-karya lainnya.
Akan tetapi, sumber lain yang merupakan budayawan Bolmong, Chariun Mokoginta mengatakan, dari hasil penelusurannya. Pelukis dan pematung yang membuat Patung Bogani adalah Tawakal Mokodompit.
“Menurut sepengetahuan saya, Tawakal Mokodompit yang membuat Patung Bogani. Kiprahnya dalam seni lukis pun hingga ke ibukota Jakarta. Dia bersama Pak Tino pernah mengisi program acara Mari Menggambar di stasiun TVRI dulu. Adiknya pun Harsono Mokodompit adalah seorang pelukis.
Tapi saya pernah menelusuri keberadaan mereka, hingga diketahui keduanya sudah meninggal dunia. Yang saya kenal, keduanya adalah budayawan sekaligus pematung di Bolmong,” tutur Chairun saat ditemui di kediamannya di Kelurahan Genggulang Kecamatan Kotamobagu Utara, Rabu (26/11) kemarin.
Kedua kakak beradik itu menurut Chairun, sangat memperhatikan kebudayaan Bolmong dari segi adat istiadat, semboyan-semboyan budaya, juga simbol-simbol.
“Setahu saya juga keduanya itu di masa muda mulai eksis di dunia seni. Seingat saya saat kepempimpinan Bupati O.N Mokoagow, mungkin di periode tahun 66-76, Patung Bogani dibuat,” tutur Chairun, sambil mengingat-ingat.
Diceritakan pula olehnya, tokoh Bogani yang menjadi Patung Bogani adalah Bogani Paloko. Sebab yang bermukim di sekitar aliran sungai dan wilayah Kotobangon sampai ke Puncak Ilongkow adalah Bogani Paloko.
“Ada begitu banyak bogani, ada Bogani Inde Indou, Inde Dikit, Dugian, Paloko, Ponamboian, Dondo, Pongayow, Lingkit, Mogedag dan masih banyak lagi. Tapi menurut saya,yang menjadi tokoh Patung Bogani adalah Bogani Paloko. Sebab dulu yang berdiam di sekitar aliran sungai adalah Bogani Paloko dan masyarakat yang dipimpinnya,” urainya, sambil mempersilahkan wartawan koran ini, untuk minum teh yang dihidangkan istrinya.
Diketahui ada dua sebutan untuk Bogani bagi laki-laki dan Bogani untuk perempuan. Dari bahasa ‘purba’ Mongondow, diartikan Bogani adalah manusia yang bisa menghilang.
“Artinya Bogani itu manusia yang bisa menghilang. mereka pun dipilih karena sifat dan sikap mokodotol atau patriotisme yang dimilikinya,” terangnya.
Tumomongondow/Berbahasa mongondow
SAYA SELALU BERSYUKUR DAN BANGGA TERLAHIR SEBAGAI SUKU MONGONDOW. SAYA JUGA LEBIH SENANG MENGGUNAKAN BAHASA MONGONDOW UNTUK BERKOMUNIKASI SEHARI-HARI KETIMBANG MENGGUNAKAN BAHASA LAINNYA.Saya memang sengaja menulisnya dengan mengunakan huruf kapital tapi bukan bermaksud mengangkat isu kesukuan atau primomordialisme. Ini hanya bentuk luapan keprihatinan saya, sebagai refleksi saya ketika melihat keberadaan bahasa Mongondow sekarang ini.
Saya memang bukan budayawan, bukan ahli sejarah, bukan ahli bahasa, bukan juga pakar linguistik. Tapi ketika saya melihat keberadaan bahasa Mongondow terutama di Kotamobagu. Saya berpikir ini sudah memasuki fase memprihatinkan. Betapa tidak, penduduk Kotamobagu yang notabenenya hampir 100% adalah berasal dari suku Mongondow ternyata kesehariaannya jarang terdengar menggunakan bahasa mongondow untuk berkomunikasi, terlebih bagi anak-anak muda dan bukan hal yang tidak mungkin 20 tahun akan datang bahasa Mongondow akan punah.
Saya teringat pada suatu ketika saya dan teman saya sedang asyik bercengkrama di dego-dego yang berada di halaman rumah, tiba-tiba pembicaraan kami teralih sejenak ketika ada seseorang yang lewat, dengan sedikit menurunkan volume suaranya teman saya bertanya kepada saya “ko ta’awanmu ki’ine tatua?”(kamu tahu siapa dia itu?) jawabku “O’o kota’awanku sia ”(iya saya tahu dia) dengan nada ketus teman saya berkata “sia tatua bagu pitu notaong ilumuay kon lipu’ yo no’ibuimai kon lipu’ nokoliongannya bidon in tumomongondow. yo takolipud oyu’on intau Mongondow opat nopulu kapin notaong kon bolanda yo noiangoimai kon lipu yo umuranbi’ kota’awannya tumomongondow” (dia itu baru tinggal diluar daerah selama tujuh tahun setelah pulang sudah lupa dengan bahasa mongondow. Sedangkan dulu ada orang Mongondow selama empat puluh tahun lebih tinggal di Belanda lalu datang kembali ke kampung, masih selalu ingat dengan bahasa Mongondow)
Saya berpikir dan membandingkan antara orang yang sudah 40 tahun lebih tinggal di Belanda masih tetap ingat dengan bahasa mongondow, dengan orang yang baru 7 tahun tinggal luar daerah sudah lupa dengan bahasa Mongondow? Kenapa bisa seperti itu? saya juga belum tahu penyebabnya. Tapi saya yakin, ini tidak ada hubungannya dengan kemampuan daya ingat ataupun tingkat intelegensi seseorang
Sejarah Singkat Bolaang Mongondow
Mitologi Dan Asal-Usul Masyarakat Bolaang Mongondow.
.Asal-Usul Penduduk-
Hikayat yang berkembang secara turun
temurun tentang asal usul manusia yang mendiami daratan Bolaang
Mongondow, Berawal dari masa terjadinya kenaikan permukaan air, Sehingga
hampir semua daratan tenggelam tertutup air. Menurut hikayat ini, Pada
waktu itu terjadilah air pasang yang melanda semua daratan dan
membenamkannya dibawah permukaan air. Sehingga, yang tersembul tinggal
satu tempat yang dikenal dengan gunung Komasaan atau Huntuk, Yang dikala
itu termasuk puncak yang tertinggi. Tempat ini sekarang disebut Huntuk
Baludaa dihulu sungai Ilanga sekitar 40 Km dari Bintauna.
Pada masa itu, yang mula-mula tinggal disana
satu-satunya manusia bernama Gumolangit atau Budolangit, Yang artinya
manusia turun dari langit.
Sekali waktu Gumolangit berjalan mengelilingi gunung
sambil menyusuri pantai, Tiba-tiba tampak olehnya seorang laki-laki
ditengah laut yang sedang berjalan diatas ombak menuju ke pantai.
Setibanya di pantai,pecalah ombak dan bertepatan dengan itu, muncullah
seorang wanita dari pecahan ombak tersebut.Jadi,
saat pendatang asing itu melangkah kedarat, ombak besar menghambur ke
pantai dan dari pecahan ombak ini muncul pulah seorang wanita. Karena
itu, Gumolangit menamakan Laki-laki itu “Tumotoi Bokol”, yang artinya
meniti pada ombak. Sedangkan si wanita dinamakan “Tumotoi Bokat”,
artinya keluar dari pecahan ombak.
Kemudin Gumolangit meneruskan perjalanannya di tepi
laut hingga ia merasa lelah dan haus. Tiba-tiba ia melihat seruas bambu.
Setelah di amat-amati, ternyata bambu tersebut tidak mempunyai ruas.
Sepotong bambu itu merupakan pipa yang ujung ruasnya tidak berbuku.
Diambilnya bambu itu dan menujulah dia ke suatu sumber mata air yang
mengalir dari celah_celah batu.
Ketika hendak mengisi air, Tangan Gumolangit yang
satu dipakai menutup ujung bambu bagian bawah, agar tidak terbuang.
Setelah bambu terisi penuh, Gumolangit hendak meminumnya. Namun
terjadilah suatu keajaiban. Dari bambu itu tak setetes pun air yang
keluar untuk dapat diminum. Beberapa kali dia berusaha menuangkan air ke
mulutnya. Tetapi air itu tidak pernah keluar dari bambu.
Sementara Gumolangit terheran-heran dan
bertanya-tanya tentang ihwal kejadian itu, Tiba-tiba potongan bambu itu
pecah berserakan dan secara ajaib berdirilah seorang perempuan di
depannya. Karena terkajut, sampai-sampai dia terlompat ke udara.
Gumolangit menamakan perempuan ini “Tendeduata”, yang bermakna pujaan
dewa.
Selanjutnya, keempat manusia ini tinggal bersama di
puncak Gunung Komasaan. Kemudian mereka menjadi dua pasanga suami-istri
Gumolangit-Tendeduata dan Tumotoi Bokol-Tumotio Bokat.
Beberapa waktu terselang, pasangan Gumolangit dan
Tendeduata dikaruniai seorang anak perempuan cantuk yang diberi nama
Dinondong (yang dieluk-eluk). Tumotoi tumotopi Bokol dan Tumotoi Bokat
dianugerahi seorang seorang anak laki-laki yang di beri nama Sugeha.
Setelah dewasa- atas kesepakatan kedua orang tua
masing-masing – keduanya di kawinkan. Dari perkawinan Sugeha dan
Dinondong, lahirlah seorang anak laki-laki yang di beri nama Sinudu
(penerus/penyusul). Ketika telah dewasa, Sindu kawin denga seorang
perempuan yang bernama Golingginan (hidup sederhana).
Sinudu dan Golinggian beroleh anak perempuan yang
dinamai Sampoto. Sampoto artinya ingin memperoleh wanita. Setelah
mencapai dewasa, Sampoto kawin dengan Daliian (Daliyann = ingin
mengulang kembali). Perkawinan mereka dianugerahi tiga anak
masing-masing bernama: Pondaag, Daagon dan Mokodaag.
Pada usia dewasa, Daagon dikawinkan dengan Dampulolingdan tidak lama kemudian memperoleh anak: Silagondo.
Tahun-tahun terus berganti. Makin lama penduduk makin
bertambah. Seiring pertumbuhan penduduk, permukaan air pun semaki surut
dan bermunculan banyak daratan. Sejak itu, dimulailah persebaran
manusia ke seluruh penjuru Bolaang Mongondow. Bahkan pada masa itu
pilah, mulai terbentuk pemukiman-pemukiman (totabuan) baru yang satu
sama lain saling berjauhan. Melalui perjalanan waktu, makin lama
pertumbuhan pendudukmakin meningkat dan lambat laun manusia tidak saling
mengenal lagi.
Ada yang menetap di tempat semula (Huntuk). Ada pulah
yang menuju pantai Utara dan kearah pedalaman sebelah timur dan
selatan. Yang menuju ke Utara mendiami tempat dan wilayah Pandoli,
Sinumolantaan, Ginolantungan, Buntalo, Maelang dan lain-lain. Yang ke
pedalaman dataran Mogutalong/dataran Mongondow, menuju Tudu in Passi,
Tudu in Lolayan, Tudu in Sia, Polilian, Alot, Batunoloda, Batu Bogani
dan sebagainya. Yang menuju ke pedalaman sebelah selatan mendiami
tempa-tempat seperti Bumbungan, Mahag, Tabagolinggot, Tabagomamang,
Siniyow, Dumoga Mointok, Dumoga Moloben dan lain-lain.
Tempet-tempet ini kemudian berkembang menjadi wilayah
pemukiman yang luas. Denagan berkembangnya penduduk di masing-masing
wilayah atau kelompok, mereka pun mengangkat kepala kelompok sebagai
pimpinan yang berfungsi mengatur tata tertib kehidupan di pemukiman.
Orang-orang yang di pilih biasanya mereka yang di nilai cerdik, kuat dan
berani. Kepala-kepala kelompok atau pimpinan ini disebut Bogani (gagah
dan berani).
Bogani-bogani yang terkenal dimasa itu antara lain:
Bogani Damoluwo’ dan Pongayou di Tudu in Passi, Bogani Binongkuyu’ di
Tudu in Bakid di Pontodon, Bogani Lingkit di Tudu in Yanggat dan Bogani
Dondo di Tudu in Bilalang di Bilalang. Kemudian Bogani Mogedag dan
Bogani Bulumondow di Tudu in Lolayan, Bogani Bolongkasi di Buluan,
Bogani Rondong dan Bongiloi di Poliian, Bogani Manggopa Kilat dan
Salamatiti di Dumoga Moloben, Bogani Amaliye dan Inaliye di Bumbungon,
Bogani Damonegang di Tudu in Babo, Bogani Punu Gumolung di Ginolantungan
dan sdebagainya. Sedangkan Bogani-bogqani wanita seperti: Salamatit dan
Inaliye, kira-kira hidup pada abad XIII dan Inde’Dou’ pada abad XV.
Dapat di kemukakan di sini, hikayat persebaran
penduduk yang berpindah menggunakan perahu yang mendarat di sekitar
muara sungai Ongkag Lombagin dan sungai Sumoit di tempat-tempat yang
kemudian dinamakan bangka’ dan panag. Perahu yang digunkan
adalah sejenis perahu besar yang disebut bangka’ dan perahu yang
lainnya disebut panag. Hikayat ini mempunyai muatan aspek histories yang
sangat vital. Fakta empiris ini, antara lain, dapat menunjukan dan
membenarkan dugaan bahwa di masa purba kala terdapat dua buah danau
besat di pedalaman Bolaang Mongondow. Uraian ini di kutip dari
penjelasan penerjemah buku Dunnebier, Mengenal Raja-raja Bolaang Mongondow(1998:88-90).
Penduduk yang dating dengan menggunakan bangka’ dan panag,
mereka mendiami dataran disekitar dua sungai yang disebutkan diatas.
Karena sering banjir besar, pemukiman bangka; dan panag ter ancam, baik
oleh banjir itu sendiri maupun ancaman gelombang laut. Penduduk pindah
menyelamatkan diri. Sebagian menyusuri pantai dan sebagian yang terdiri
dari beberapa kelompok, memilih mencari tempat yang dirasakan lebih
aman. Dengan bermodalkan keberanian, tekad dan semangat yang tinggi
dengan di pimpim lepala kelompok, mereka mencari pemuliman baru dengan
menyusuri aliran sungai menuju ke timur.
Kelompok-kelompok ini menyusuri sungaiOngkag
Lombagin. Ketika tiba di tempat pertemuan (bersatunya) Ongkag Mongondow
dan Ongkag Dumoga mereka terhenti, karena terjebak dalam hutan lebat
yang dilingkupi barisan petunungan berlapis-lapis yang mengapit kedua
Ongkag ini. Untuk dapat melanjutkan perjalanan, rombongan ini mengadakan
peninjauan sambil menengok keatas (ilumangag), kearah gugusan
pegunungan manakah yang harus di tembus. Ditempat ini pula berdirilah
kampong yang sekarang bernama Langagon.
Perjalanan dilanjutkan mengikuti huku ongkag
Mongondow dan tiba di tempat yang sekarang Desa Solimandungan. Konon,
nama desa itu berasal dari kata “Pinolimanonan”, tolimanon yang
artinya saling menunggu kawan atau anggota rombongan lain yang
tertinggal di belakang. Kemudian kelompok berjalan terus sampai di
tempat yang letaknya di Desa Komangaan sekarang ini dan beristirahat.
Mereka merasa legah dan betah di tempat ini, “Noanga” (kinoangaan), yang
menjelma jadi Desa Komangaan.
Rombongan selanjutnya menembus hutan rimba sambil
memberi tanda dengan parang pada pepohonan yang dilewati, yaitu “Taga”,
tempat yang sekarang di namakan Sinagaan. Taga’ merupakan penunjuk jalan bagi mereka yang berada di belakang.
Setelah berjalan beberapa hari, kelompok ini tiba di
suatu tempat yang sekarang disebut Desa Muntoi. Nama Desa ini berasal
dari kata “Noontoy”, dan bermaknah hasil jerih payah yang terkumpul
selama dalam perjalanan.
Setelah melewati Muntoi, mereka dating ke lembah
kecil yang terbenam di tengah-tengah pegunungan “Motuyobong” atau
“Noilobong”, di tempat pertemuan kali Ongkag dan kali Lobing, di Desa
Lobong sekarang. Dari sini pengembaraan ditengah hutan dilanjutkan
mengikuti lereng “Nogalet” sampai ke atas puncak bukit “Otam”.
Otamon merupakan jenis tumbuhanyang dapat melukai
tangan jika mencabutnya tidak hati-hati. Nama tempat ini sekarang berada
di Desa Otam dan Desa Wangga. Wangga sebelumnya disebut “Ponugalan” dan
berasal dari kata “Tugal” (lubang-lubang kecil) untuk menanam padi
dengan menggunakan sepotong bambu atau kayu. Di Tudu Wangga ini pernah
di temukan perahu yang di gunakan orang pada masa dahulu.
Lambat lain, seiring dengan pertambahan penduduk,
rombongan pengembara ini mencari tempat pemukiman-pemukiman baru. Mereka
menjadi kelompok-kelompok yang besar dengan tempat yang makin terpisah
satu sama lain. Sehingga, munculnya pemimpin-pemimpin kelompok (bogani),
makin menyemarakkan migrasi orang Bolaang Mongondow.
Bahkan lamban laun para bogani itu ,emjelajahi
daratan Mongondow (asl kata: Momondow), yang artinya teriakan-teriakan
panjang saling bersahutan sebagai tanda atau kode agar tidak kehilangan
komunukasi satu sama lain ditengah-tengah daratan hutan belantara yang
luas. Dilembah yang luas ini ditemukan banya kali-kali kecil, pohon sagu
dan pohon dammar yang getah nya dapat dipakai untuk lampu atau
penerangan. Pohon in I dinamakan “Damag-Talong”. Karena itu, dataran
yang luas ini dinamakan :Lopa’ in Mogutalong”. Kini, dikenal sebagai
wilayah Passi dan Lolayan.
Agaknnya, setelah Gumolangit kawin dengan Tendeduata,
dan mendapat anak Dinondong di Huntuk, Baludaa di Bintauna, dia dating
ke Dumoga. Seterusnya, kawin lagi dengan Sandilo di Bumbungon. Orang
tua, kake dan nenek, bahkan leluhur Sandilo, tentu lahir dahulu dari
Gumolangit. Masyarkat Bumbungon serta pemukiman-pemukiman di sekitarnya
seperti Mahag, Tobago, Linggot, Tobagomamang, Siniyow, Dumoga mointok
dan Dumoga moloben, penduduknya sudah berkembang demikian pesat. Akan
tetapi, masi adah generasi yang lebih tua. Mereka seperti yang terdapat
dan hidup di Bunbungon dan sekiternya pada abad sebelum atau sekitar
panjajahan Portugis.
Salah satu bukti bahwa di bumbungon dan sekitarnya
telah berkembang suatu kehidupan masyarakat yang luas, pada saat
pecahnya selaput bayi yang bernama Mokodoludut. Orang-orang yang hiruk
pikuk yang brlarian dating melahat dan gemuruh bunyi permukaan tanah
dilewati kelompok-kelompok manusia dinamakan Mokodoludut, yang artinya
menimbulkan gemuruh. Sebaliknya, bagaimana pertumbuhan keluarga
Gumolangit di Huntuk dan sekitarnya, setelah Silangondo tidak ada lagi
riwayat lanjutannya. Ini berarti bahwa pusat kehidupan masyarakat
Bolalang Mongondow pada wakti itubukanlah di Huntuk, Baludaa Bintauna
dan sekitarnya. Tapi konsentrasi dan pertumbuhan penduduk justru
berkembang di Bumbungon dan sekitarnya. Karena penduduk sudah berkembang
luas, disinilah lahir Raja peertama Bolaang Mongondow itu. Kalau
Gumolangit dan keturunan, baik di Huntuk Baludaa maupun di Bumbungon
Dumoga, hidup dalam tahun 1200-san atau 1300-san, timbul pertanyaan
siapa manusia atau dimana asal usul penduduk Bolaang Mongondow yang
mendahului periode kehidupan generasi Gumolangit.
Menurut pendapat bahwa manusia atau penduduk Bolaang
Mongondow yang hidup lebih awal dari dari masa kehidupan Gumolangit dan
keturunannya, baik di Huntuk maupun di Bumbungon, adalah orang-orang
atau penduduk Bolaang Mongindow yang hidup dimasa dataran Mongondow dan
Dumoga masih berupa dua buah danau yang besar. Penduduk ini adalah
mereka yang menggunakan perahu-perahu yang pernah di temukan di desa
Wangga sekarang.
Dengan argumentasi ini, maka leluhurnya, putri
Sandilo di Bumbungon maupun Gumolangit, bukanlah manusia pertama etnik
Bolaang Mongondow. Manusia-manusia yang hidup dan mendiami Bolaang
Mongondow pada masa dataran Mongondow ( Mogutalong) dan Dumoga masih
merupakan danau, adalah orang-orang yang diperkirakan sebagai
laluhur-leluhur penduduk asli Bolaang Mongondow. Kapan perioda
keberadaan Danau Mogutalong dan Danau Dumoga, akan dapat di perkirakan
setelah ada data terjadinya letusan dahsyat Gunung Ambang pada masa itu.
Dan data ini akan dapat ditemukan dalam buku-bukugeografi dan sejarah.
Selanjutnya, tantang hikayat Tendeduata yang berasal
dari pecahan Bambu Kuning. Karena sifat ceritanya yang bernada
aneh,tentunya diperlukan pemahaman yang rasioanal. Bila di analisis
secara nalar, maka konteks probabilitas yang dapat diterima akal sehat
memperkirakan, Tendeduata sedang mempersembunyikan diri dalam rumpun
Bambu ketika Gumolangit mengambil seruas bambu.
Tentang Tumotoi Bokol dan Tumotoi Bokat, keduanya di
kategorikan sebagai bagian dari manusia pendatang (Imigran). Menurut
sejarah penduduk Indonesia, asal usul mereka atang dari rumpun palae mongoloid
di Indo Cina dan Asia Tenggara. Karena mereka tiba di daratan Bolaang
Mongondow melalui laut, dinamakan Tumotoi Bokol dan Tumotoi Bokat.
Mengenai asal-usul penduduk Bolaang Mongondow banyak
yang berpendapat bahwa mereka beasal dari Filipina, terutama dari pulau
Mindanau. Dugaan ini diperkuat dengan data bahasa (bukan kesamaan
bahasa)antara bahasa tagalong di Filipina dan bahasa Mongondow.
Misaknya, kat-kata yang sama arti dan penggunaanya seperti: loluang (jalan), tondok (pagar), tubig (air), manuk (ayam),
penghulu dan sebagainya. Kemudian, kalau dilihat dari aspek
antropologis, strutur fisik antara orang-orang Mindanaudan Bolaang
Momngondow, hampir tidak ada perbedaan yang menyolok.
Arus pelayaran manusia dari Filipina, khususnya dari
Mindanau di sekitar penjajahan Portugis dan Spanyol baik sebagai nelayan
maupun sebagai bajak laut, masih tetap tinggi hingga abad XV.
Bogani-bogani Inde’ Dou’, Inde’ Dikin dan lainnya, adalah bogani-bogani
yang antara lain, mempunyai tugas utama memberantas perampok dan
perompak dari Mindanau. Sebagai suatu bukyi, saat Tadohe dan pembantunya
mendarat di laut sekitar Desa Togid, pada awalXVI (1600), Inde; Dou’
hampir membunuhnya, karena disangkah perompak dari Mundanau.
Dou’ alias Inde’ Dou’, ketika itu merupakan pemimpin
rakyat adalah seorang wanita yang mewarisi kekuasaan Punu’ Damopolii dan
menguasai wilayah Minahasa Selatan, mulai dari Ratahan – Pontak – Buyat
dan seluruh Kecamatan Kotabunan sekarang.
.Penyebaran Penduduk
Menurut riwayat, hubungan Bolaang Mongondow dan
Minahasa sudah terjalin sejak dari masa purba. Puteri Punu’ Mokodoludut,
yang bernama Ginsapondo, adalah perintis pertama yang dating ke
Minahasa dan kemudian merupakan asal keturunan dari beberapa pemimpin
dan tokoh-tokoh di Minahasa. Perpindahan Ginsapondo ke Minahasa, terjadi
pada awal abad XV.
Kemudian menjelang akhir abad XV, Punu; Damopolii
dikenal sebagai cucu Punu’ Mokodoludut, dating ke Minahasa dan kawin
dengan Wulan Uwe Randen yang kemudian disebut Tende in Bulan atau
Tendeduayo’.
Di Minahasa dikenal sebagai manusia perkasa dan
dinamakan Ramopolii. Damopolii banya mengembara ke Minahasa Utara, Siau,
Kema da Likupang. Dalam perjalanan pengembaraan sebagai kebiasaan
orang-orang perkasa di zaman purba, diperkenankan untuk kawin yang di
Mina-hasa disebut Tateon. Asal kat ini, tot berarti
pegang. Nama-nama marga Ramopolii, Damopolii< Polii adalah nama marga
yang kini masih berkembang di Minahasa, Biotung dan Manado.
Punu’ Busisi* adalah putra Punu’ Damopolii. Beliau
mengikuti jejak ayah nya yang banyak mengembara ke Minahasa. Ia kawin
dengan Limbatondo. Puterenya di beri nama Makalalo. Makalalo adalah asal
nama minahasa. Konon, karena neneknya Minahasa. Setelah makalalo
menjadi Punu’ menggantikan ayah nyak, iya kawin dengan puteri Minahasa
Wulan Ganting-ganting dari Mandolang dekat Tateli. NAma-nama Makalalo,
Lalo atau Lalu, adalah marga-marga yang kini tetap hudup di Minahasa dan
daerah-daerah sekitarnya.
Setelah Punu’ Makalao digantikan putranya Punu’
Mokodompit, Mokodonpit kawin dengan Menggeyadi, seorang putrid berasal
dari pulau Lembeh Minahasa, Kotamadya Bitung sejarang. Kemudian
Mokodompit kawin dengan Gogune ke Sangir Talaut sekitar 1580.
Puteranya Tadohe lahir di sini dan kembali ke Bolaang
Mongondow pada 1600. Turunan Mokodompit di Sangir Talaut, kini dikenal
dengan Mokodompis. Kebudayaan kuna antara Bolaang Mongondow dan Sangir
Talaut, dalam beberapa hal, ada kesamaan. Menurut sarasehan Budaya
se-Sulawesi Utara1981, ada kata-kata yang mengandung kemiripan (kognat).
Misalnya kabela (Bolaang Mongondow) dan kawela (Sangir Talaut) untuk alat tempat sirih. Alat kesenian pun ada kesamaan istilah seperti: rambabo, bansi dan tantabua. Tri Tayok
banyak kesamaan dengan tari Gunde di Sangir Talaut. Bahkan mungkin nama
tari Gunde ini di ambil dari nama istri Mokodompit, yaitu Gogunde.
Seorang putra Tadohe. Loloda Mokoagow menjadi Raja
pada tahun 0650-1694. Loloda Mokoagow disebut Raja Bolaang Mongondow dan
Minahasa. Karena, Minahasa berada di bawah kekuasaanya. Loloda Mokoagou
di namakan juga Raja Manado. Bahkan leluhur Raja Loloda Mokoagow pernah
menguasai Desa Bonton di Gorontalo (Valentijn, dalam Dunebier,
1983:27).
Langganan:
Postingan (Atom)