Jumat, 11 November 2016

Asal usul masyarakat Bolaang Mongondow
Dan urutan bupati yang menjabat
Berdasarkan riwayat atau penuturan secara turun-temurun sesuai Metodologi Penulisan Sejarah dengan menggunakan Analisa Kausal dan dengan menggunakan pendekatan Multidimensi, bahwa kedatangan Nenek Moyang Bolaang Mongondow melalui Cerita Sejarah yang didukung oleh kenyataan dalam interaksi sosial maupun aktifitas masyarakat dari dulu hingga sekarang. Nenek moyang penduduk Bolaang Mongondow mulanya bertempat tinggal di muara Sungai Sangkub Bintauna yang awalnya terdiri dari 2 (dua) pasang Suami Istri masing-masing GUMALANGIT (Turun dari Langit) dan istrinya TENDEDUATA (Putri dari Dewa) serta TUMOTOI BOKOL (Meniti dari Ombak) dan istrinya TUMOTOI BOKAT (Keluar dari Pecahan Ombak), pasangan GUMALANGITmemperoleh keturunan Puteri bernama DUMONDON, sedangkan pasangan TOMOTOI BOKOL mendapat keturunan Putera bernamaSUGEHA, dimana setelah Dewasa mereka dinikahkan.
Seiring dengan perkembangan dengan perjalanan waktu keturunan mereka berkembang menjadi besar dan berkelompok-kelompok serta hidup bersama dengan tempat tinggal bernama LIPUNG, dan dengan perkembangannya kedua keturunan ini mulai memasuki pedalaman dan hidup berpindah-pindah (Nomaden), kemudian menyebar untuk mendapatkan pemukiman baru dipimpin oleh para BOGANI-NYA menyebar diseluruh pelosok Negeri, dan dari keturunan GUMALANGIT menyebar ada yang ke HUNTUK BALUDAWA dan ada juga masuk kepedalaman Bolaang Mongondow yang waktu itu masih berbentuk Danau dan sebagai bukti terhadap salah satu tempat Wilayah Passi bernama UANGGA (perahu) sebab dulunya di sana digunakan sebagai tempat tambatan perahu.
Masa Pemerintahan
Berdasarkan Legenda dengan penuh Mitologi serta bukti sejarah meriwayatkan bahwa menjelang Abad ke XIV sampai dengan Abad ke XIX, wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow berbentuk Kerajaan-kerajaan yang terdiri dari Empat Kerajaan Besar yakni Kerajaan Bolaang Mongondow, Kerajaan Bintauna, Kerajaan Kaidipang Besar, dan Kerajaan Bolaang Uki, dimana dimasa Pemerintahan Kerajaan-kerajaan ini dibawah pengaruh kekuasaan Belanda/VOC dan Jepang. dan berakhir tahun 1948 setelah keluar Peraturan Negara Indonesia tentang pembentukan Dewan Raja-raja di Bolaang Mongondow sebagian dari Sub Bagian Daerah Sulawesi Utara yang Berpusat di Gorontalo.
Dewan Raja-raja itu berbentuk sebagai berikut:
Ketua: H.J.C. MANOPPO dari Bolaang Mongondow
Anggota: R.S. PONTOH dari Kaidipang
M. DATUNSOLANG dari Bintauna
A.H. GOBEL dari Bolaang Uki
Dewan raja-raja ini berakhir Bulan Mei 1950 dengan adanya Gerakan Rakyat Menentang Sistem Feodal, yang disponsori Partai Syarikat Islam Bolaang Mongondow menuntut Pembubaran Pemerintah Swapraja yang dianggap kaki tangan Kolonial yang menghambat arah dan jiwa Demokrasi NKRI yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945 dan menuntut agar Bolaang Mongondow dijadikan Kabupaten lepas dari Kabupaten Sulawesi Utara yang berpusat di Gorontalo. Akhirnya dalam suatu pertemuan besar yang dihadiri ribuan massa PSII dan massa lainnya yang dipimpin ZAKARIA IMBAN, dewan raja-raja dibubarkan dan dengan kerelaan pengunduran diri oleh H.J.C. Manoppo sebagai Ketua Dewan Swapraja.
Pada bulan Desembar 1950, proses dimasukannya Wilayah Bolaang Mongondow kedalam wilayah Kabupaten Sulawesi Utara yakni Daerah Sub kabupaten Bolaang Mongondow yang oleh Pemerintah Pusat mengangkat Frans Papunduke Mokompit sebagai Kepala Daerah Sub Kabupaten Bolaang Mongondow yang berlangsung sampai bulan Maret 1954 (4 Tahun 5 Bulan). dan merupakan Kepala Daerah Kabupaten yang Otonom, dan merupakan masa peralihan yang berlangsung hingga Bulan Maret 1954, yang sejak Bolaang Mongondow menjadi Daerah Otonom Tingkat II setingkat Kabupaten pada Tanggal 23 Maret 1954.
Bahwa selama kurung waktu tahun 1954 hingga awal tahun 1969 situasi dan kondisi stabilitas maupun pembangunan dalam keadaan darurat karena pada masa ini terjadi pergolakan-pergolakan atau pemberontakan terutama oleh perjuangan Rakyat Semesta (PERMESTA) dimana Bolaang Mongondow dijadikan basis terakhir perjuanganya akibat Rakyat Bolaang Mongondow paling parah dibandingkan dengan Gorontalo dan Minahasa, Bolaang Mongondow hancur total dibumihanguskan menjadi puing-puing berserahkan sekitar tahun 1963.
Akan tetapi dengan semangat yang membara rakyat dan Pemerintah yang terbentuk, melaksanakan Pembangunan walaupun dalam bentuk-bentuk darurat hingga tahun 1968, dan Pembangunan secara terencana dan sungguh-sungguh baru dimulai sejak dicanangkannya Repelita I tanggal 1 April 1969 dimana di Kabupaten Bolaang Mongondow pencanangannya dipusatkan di Kecamatan Modayag dengan Pencakulan Pertama Pembuatan Jalan Darat Tobongon– Molobog oleh Bupati Bolaang Mongondow Oemarudin Nini Mokoagow dengan Nama Proyek Tomol (Tobongon – Molobog), jalan Uuan ke Molibagu dengan nama Proyek Umol (Uuan – Molibagu) dan jalan baru Pinogaluman ke Doloduo dengan nama Proyek Pindol (Pinogaluman-Doloduo) dan selanjutnya hingga sekarang ini.
Keberhasilan pembangunan di Kabupaten Bolaang Mongondow setelah menjadi Daerah Otonom Tingkat II, tidak lepas dari peran dan kesungguhan Para Bupati yang silih berganti memimpin Daerah ini. Hingga saat ini dibawah kepemimpinan Hi. Salihi B Mokodongan yang memimpin Kabupaten ini sejak 16 Juli 2011 hingga Juli 2016, dimana perkembangan pembangunan yang sangat signifikan dengan kebutuhan masyarakat Bolaang Mongondow diantaranya terjadi Pemekaran Kecamatan dari 15 Kecamatan Menjadi 32 Kecamatan yang terdiri dari 352 Desa/Kelurahan. Prestasi gemilang serta usaha yang tidak pernah mengenal Kata menyerah mendatangkan hasil yang perlu dicatat dengan TINTA EMAS dalam Sejarah Perjalanan Kabupaten Bolaang Mongondow dengan keluarnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2007 Tentang Pembentukan Kota Kotamobagu dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Pembentukan Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, dimana kedua Daerah hasil Pemekaran itu, telah diresmikan pada tanggal 23 Mei 2007 oleh Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Ad Interim Bapak Widodo A.S, upaya dan kerja keras Bupati beserta seluruh stakeholders tidak berhenti sampai di situ ini terbukti dengan disahkannya 2 daerah otonom yang baru yaitu Undang-undang Nomor 29 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kabupaten Bolaang Mongondow Timur dan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan dimana peresmiannya dilaksanakan pada tanggal 30 September 2008 oleh Menteri Dalam Negeri, sehingga saat ini Bolaang Mongondow Bersatu telah menjadi 4 Kabupaten dan 1 Kota.
Dengan keberadaan ini maka sangat layak bagi Bolaang Mongondow Bersatu untuk membentuk 1 Provinsi yang baru, cita-cita luhur ini tentunya harus ditopang oleh kita semua dengan upaya, kerja keras, sehingga Visi dan Misi yang dicanangkan oleh Bupati bersama seluruh komponen masyarakat yaitu: '‘Terwujudnya Bolaang Mongondow Yang Berbudaya, Berdaya Saing, dan Sejahtera’' secara perlahan mulai tergapai.
Adapun Bupati/Bupati yang pernah memimpin dan perlu mendapat catatan'‘TINTA EMAS’' disanubari Rakyat Totabuan dengan massa periode Kepemimpinan adalah sebagai berikut:
1. Anton Cornelis Manoppo (Maret 1954-Juni 1954)
2. Henny Yusuf Cornelis Manoppo (Juni 1954-September 1959)
3. Mayor Inf Daan Olii (September 1959-Juni 1965)
4. Piet Johanis Manoppo (Juni 1965-Agustus 1966)
5. Letkol CPM Oemarudin Nini Mokoagow (Agustus 1966-Januari 1976)
6. Drs Hi Syamsudin Paputungan (Januari 1976-Mei 1976)
7. Letkol Art Inyo Tangkudung (Mei 1976-Januari 1981)
8. Drs Ahmad Nadjamudin (Januari 1981-Mei 1981)
9. Drs Hi Jambat Arsyad Damopolii (Mei 1981-Mei 1991) 2 periode
10. Drs Hi Syamsudin Paputungan (Mei 1991-Mei 1996)
11. Drs Hi Muda Mokoginta (Mei 1996-Mei 2001)
12. Ny Hj Marlina Moha Siahaan (Mei 2000-Mei 2006/Mei 2006-Mei 2011) 2 periode
13. Hi Gun Lapadengan SH (Mei 2011-Juli 2011)
14. Hi Salihi B Mokodongan (Juli 2011 s/d 2016).
15,Adrianus Nikson Watung (saat ini PJS)
 TARI TUITAN Khas bolaang mongodowTari Tuitan
Tari Tuitan adalah Tarian Adat Bolaang Mongondow yang digelar untuk menjemput atau menjamu tamu kehormatan. Biasa juga dipergunakan untuk menjemput dan mengawal pengantin pria saat masuk ke tempat pengantin wanita pada acara akad nikah perkawinan adat Mongondow. Tarian ini dipakai sejak zaman raja-raja Mongondow dan turun temurun menjadi semacam kebiasaan bagi masyarakat apabila ada hajatan pernikahan.
Menurut sumber tarian ini diciptakan dan dipakai sebagai tarian kerajaan sejak zaman Raja Tadohe,’ karena dalam tulisan W. Dunnebier Over de Vorsten Van Bolaang Mongondow yang yang diterjemahkan R.Mokoginta. Dalam buku itu diterangkan bahwa penetapan ketentuan-ketentuan adat yang terstruktur ditetapkan pada zaman Pemerintahan Raja Tadohe’ sekitar Tahun 1600. Keterangan yang sama dapat ditemui pada tulisan-tulisan Bernard Ginupit, sebagai missal.
Tarian ini diperankan oleh 9 (sembilan) orang personil yang memakai pakaian adat yang sudah ditentukan, dengan tugas masing-masing 6 (enam) orang sebagai penari; 1 (satu) orang sebagai pemain alat music; dan 2 (dua) orang sebagai pelaku pesilat yang akan melakukan duel. Dalam prosesnya, tarian ini menggunakan alat tombak dan kaleau atau perisai, khusus untuk 6 (enam) orang penari.
Pada prosesnya sebelum pelaksanaan tarian, guhanga (orang tua adat) melakukan dodandonan, yaitu ucapan-ucapan permohonan kepada leluhur yang disampaikan lewat nyanyian yang bertujuan untuk meminta agar pada prosesnya leluhur tidak terlibat, sehingga penari-penari ini tidak kerasukan, mengingat pada pelaksanaannya penari-penari ini menggunakan benda tajam. Setelah dodandonan selesai disampaikan, tarian dimulai ketika iring-iringan tamu atau pengantin pria sudah memasuki halaman dari tempat pengantin wanita. Gerakan tarian ini dominan persis seperti pertempuran, yaitu memainkan langkah maju-mundur dan menghunuskan tombak serta mengangkat kaleau.
Khusus pada acara akad nikah, pada tahapan selanjutnya penari-penari membuat barisan tiga-tiga dan berjalan bersama mengawal iring-iringan pengantin pria sampai di depan gerbang pintu masuk tempat pengantin wanita. Di depan gerbang, iring-iringan akan dicegat oleh satu orang pengawal pengantin wanita, yang kemudian meminta berduel dengan perwakilan iring-iringan pengantin pria, sebagai satu persyaratan mutlak untuk masuk ke dalam, Pengawal pengantin pria harus mengalahkan pengawal pengantin wanita tersebut. Hal ini menggambarkan pada zaman dahulu pria yang akan mempersunting wanita adalah pria yang terbukti mempunyai kekuatan, karena kalau lemah maka tidak bisa diijinkan masuk kedalam rumah sang wanita, artinya tidak akan pernah mempersuntingnya.
Selanjutnya, setelah pengawal pengantin wanita ditaklukkan, iring-iringan pengantin pria dipersilahkan masuk untuk menyerahkan seserahan yang dibawa serta melangsungkan pernikahan dan tetap dikawal oleh kelompok tuitan tadi.
SENI YANG ADA DI BOLAANG MONGONDOW
Tari Tuitan

Seni Musik
  • KANTUNG, adalah alat musik yang dimainkan dengan cara dipetik, terbuat dari tempurung kelapa sebaga resonansi dan berdawai satu.
  • RABABO, adalah alat musik yang digesek resonansi terbuat dari tempurung dengan dawai satu.
  • TANTABUA, adalah alat musik terbuat dari bambu, kulitnya dijadikan dawai yang lebarnya sekitar 1 cm. dekat dawainya dibuat lubang dengan ukuran sekitar 3 x 3 cm, untuk kemudian dipukul dengan kayu.
  • BANSI’ atau TUALING, adalah alat musik yang terbuat dari bambu berlubang satu
  • OLI-OLI’, adalah alat musik terbuat dari kulit pelepah enau hutan, pakai semacam lidah-lidah, pada ujung kiri diikatkan tali penahan dan pada ujung kanan tali yang ditarik-tarik agar lidahnya bergetar dan kemudian menimbulkan bunyi.
  • TOLALO, adalah alat musi yang terbuat dari dua kerat bambu kering ukuran 15 x 3 x ½ cm.
  • KULINTANG, adalah alat musik dari logam, perangkatnya terdiri dari mung-mung 5 sampai 7 buah berderet dan dimainkan dengan cara dipukul.
  • GAMBUS, adalah alat musik bentuknya seperti gitar kecil dan dimainkan dengan cara dipetik.
  • REBANA, adalah alat musik dari kulit hewan yang di ikatkan pada kayu yang sudah dirancang bulat/bundar dan dimainkan dengan cara ditepuk atau dipukul.
Seni Tari
  • TARI TAYOK, adalah tarian yang dilakukan oleh seorang bolian wanita, yang sambil menari juga menyanyi dan diiringi tabuhan gimbal dan golantung (gong kecil dan gong besar). Tarian ini dimainkan pada acara ritual adat pengobatan dan lainnya.
  • TARI JOKE’, tari yang dilakukan oleh seorang atau lebih pria pada acara-acara gembira dan iringi oleh lagu Bondit, Tolibang atau Odenon.
  • TARI MOSAO, adalah tarian yang dimainkan oleh pria pada saat mengawal raja atau pengantin menuju ke rumah pengantin wanita. penari memakai pedang dan perisai serta diiringi oleh tabuhan gendang.
  • TARI RANGKO atau TARI REGAI, adalah sejenis tari silat untuk memperlihatkan keperkasaan.
  • TARI TUITAN, adalah tarian yang dimainkan oleh barisan pengawal Raja dengan menggunakan tombak dan perisai serta pakaian kebesaran Adat lengkap dengan selempang dan ikat kepala. tarian diiringi dengan tabuhan gendang.
  • TARI DANA-DANA, adalah tarian yang dibawa bersamaan dengan masuknya Islam di wilayah Kerajaan Bolaang Mongondow. tarian ini dimainkan oleh sekelompok orang bisa dicampur laki-laki dan perempuan dan bisa juga tidak, dan diringi oleh tabuhan rebana serta gambus.
Seni Sastra
  • SALAMAT, sejenis sanjak bersanjak yang diucapkan pada upacara tertentu, seperti pada acara pernikahan dan suka cita lainnya
  • ITU-ITUM, sejenis sanjak yang berisi doa permohonan pada Ompu Duata (Yang Maha Kuasa) agar apa yang diharapkan bisa terkabul.
  • ODI-ODI, sejenis sumpah yang diucapkan pada upacara atau ritual Adat tertntu, seperti pada penetapan dan pengesahan suatu aturan yang harus dilaksanakan dan dipatuhi. odi-odi diyakini dapat menjadi semacam doa dan sumpah yang bisa memberikan sanksi secara otomatis (semacam bala) apabila ada ketentuan yang dilanggar.
Seni Rupa
  • SENI PATUNG, sekitar abad – 17 pada masa Pemerintahan Raja/Punu’ Tadohe’/Sadohe’ (Raja ke-8) didirikan tempat-tempat penyembahan kepada Ompu Duata (Yang Maha Kuasa) disetiap Desa yang dinamakan Sigi. Pada setiap Sigi-sigi tersebut biasanya dibuatkan dua buah patung yang melambangkan Raja dan Permaisuri.
  • SENI PAHAT, sejak zaman Raja-raja rumah penduduk Bolaang Mongondow didirikan di atas tiang yang tinggi, pada jendela dan pintu dibuatkan silibok (ventilasi) yang dipahat dengan motif-motif tertentu khas daerah.
  • SENI UKIR, dalam temuan-temuan senjata perang pasukan Kerajaan seperti tombak dan perisai terdapat ukiran-ukiran. pada ujung tombak terdapat ukiran dengan motif kotak atau ingkaran, sedang pada perisai terdapat ukiran dengan motif manusia, hewan atau daun-daun.
  • SENI LUKIS, sedangkan untuk lebih memperindah perisai para pengawal tersebut ada juga terdapat lukisan-lukisan dengan motif manusia atau hewan dengan warna-warni yang didominasi oleh warna merah, hitam, putih dan kuning.
  • SENI KERAJINAN, sejak zaman sebelum masa Kerajaan Bolaang Mongondow atau tepatnya Masyarakat masih berupa kelompok yang berpindah-pindah tempat, dipimpin oleh Manggopa Kilat (pemimpin sebelum Raja/Punu’ pertama Mokodoludut). pada saat itu istri beliau Boki’ Salamatiti telah mengajarkan kepada kaum ibu zaman keterampilan moningkoi (memintal benang) dan mogabol (menenun).

Rumah Adat Bolaang Mongondow

Hasil gambar untuk rumah adat bolaang mongondow 

Rumah Adat Bolaang Mongondow asli yang dihuni oleh masyarakat yang rata-rata sudah berumur diatas 80 tahun

olaang Mongondow adalah salah satu daerah di wilayah Propinsi Sulawesi Utara dimana daerah ini sangat kaya dengan kabudayaan, karena oleh Raja-raja terdahulu semua system dan aspek kehidupan masyarakat diatur dengan tatanan adat. Luas daerah Bolaang Mongondow sekitar 8000 KM2 atau 54% dari luas daerah Propinsi Sulawesi Utara, yang sejak Tahun 2008 Bolaang Mongondow telah mengalami pemekaran daerah sampai dengan saat ini telah mekar menjadi 4 Kabupaten (Bolaang mongondow, Bolaang Mongondow Timur, Bolaang Mongondow Utara, Bolaang Mongondow Selatan) dan 1 Kotamadya (Kota Kotamobagu). Bahkan saat ini sudah hampir rampung untuk Bolaang Mongondow di tetapkan menjadi satu Daerah Propinsi baru dengan nama Propinsi Bolaang Mongondow Raya.

Salah satu hal yang cukup menarik di Bolaang Mongondow Raya ini adalah masih terdapat rumah-rumah adat asli yang dihuni oleh masyarakat yang rata-rata sudah berumur diatas 80 tahun.
Rumah Adat Bolaang Mongondow 1
Rumah Adat Bolaang Mongondow 1
Hal ini terbukti dengan didapatinya oleh Penyuluh Budaya dua buah rumah adat di daerah Desa Kopandakan Kecamatan Kotamobagu Selatan Kota Kotamobagu yang di huni oleh Keluarga Babuyongki terinformasi rumah tersebut adalah peninggalan dari orang tua sekitar tiga generasi diatas mereka. Kondisi rumah tersebut masih dalam keadaan baik dengan belum di rehab sedikitpun kecuali cat rumah itu sudah di perbaharui tiap tahunnya, artinya seluruh bahan dan model rumah tersebut masih asli buatan Masyarakat Mongondow zaman dulu.
Rumah Adat Bolaang Mongondow 2
Rumah Adat Bolaang Mongondow 2
Ini merupakan aset kebudayaan daerah yang perlu dijaga karena dari bangunan ini paling tidak kita bisa mengetahui bagaimana peradaban masyarakat Bolaang Mongondow Zaman itu, dimana mereka sudah manguasai tekhnik membuat bangunan yang kokoh, kuat dan bisa tahan lama, bahkan masih jauh lebih kuat jika dibanding dengan tekhnik masa kini.

 

Berkunjung ke Makam Raja Pertama Bolaang Mongondow di Kotamobagu

 Berkunjung ke Makam Raja Pertama Bolaang Mongondow di Kotamobagu

BERKUNJUNG ke Kotamobagu, sempatkan waktu Anda mendatangi makam raja pertama Kerajaan Bolaang Mongondow di Kelurahan Matali, Kecamatan Kotamobagu Timur. Tempatnya mudah ditemukan, berada tepat di depan Jalan Raya Kelurahan Matali mengarah ke Kelurahan Pobundayan, tak jauh dari Masjid DC Manoppo.
Selain makam Paduka Raja Datu Cornelis Manoppo, di sana juga tampak beberapa makam, di antaranya anak, cucu, menantu, sampai kerabat terdekat raja. Makam ayahanda DC Manoppo yaitu Aboe Dangoe Manoppo pun ada di sana sejak 1867 yang sekaligus menjadi makam pertama yang berada di kompleks itu.
DC Manoppo merupakan raja pertama yang memerintah kerajaan Bolaang Mongondow sejak 3 Oktober 1905 sampai ia wafat pada 12 Februari 1927. Peninggalan DC Manoppo yang sampai saat ini masih dilestarikan di Bolaang Mongondow raya (BMR), termasuk Kota Kotamobagu, yakni tata letak lapangan. Beliau yang mengusulkan perencanaan tata letak lapangan.
"Coba perhatikan lapangan yang ada di desa dan kelurahan, pasti di sana juga ada ada masjid dan kantor desa kelurahan. Paduka Raja Datu Cornelis Manoppo yang mengatur itu. Dulu hanya ada 27 desa berarti ada 27 lapangan," ujar Abdullah Mokoginta, satu generasi dari Raja Manoppo.
DC Manoppo juga mengajarkan kepada masyarakat bagaimana tata cara bercocok tanam dan mengatur rumah agar berhadapan dengan jalan. "Waktu tahun 1900 petani itu sembarang membuat rumah, tidak teratur tata letaknya. Ketika Raja DC Manoppo memimpin maka teraturlah rumah penduduk seperti sekarang ini berhadapan ke jalan raya," ujarnya.
Di kompleks makam yang berukuran 7x10 meter ini juga ada beberapa makam orang yang berperan penting dalam pemerintahan Bolaang Mongondow. Anggota DPR RI pada 1950 yang pertama mewakili BMR yakni Anton C Manoppo. Ia adalah anak tertua Kartini Manoppo, satu di antara istri Presiden Soekarno.
"Ketika Bolmong menjadi daerah kabupaten dan tidak lagi ada sistem kerajaan, beliau menjadi penjabat bupati pertama Bolmong. Abo' Anton C Manoppo lahir pada 23 November 1906 di Kotamobagu dan wafat pada 17 Desember 1982 di Jakarta. Beliau merupakan anak dari Raja DC Manoppo," kata Abdullah.
Ada juga makam Hj Bua' Emmy Kalsum Gerung Waworuntu, satu di antara pendiri Universitas Dumoga Kotamobagu.
"Dulu itu dinamakan UDK karena di sana ada flora dan fauna yang langka. Namanya dulu Universitas Dumoga Bone. Beliau merupakan besan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Prof Fuad Hasan waktu itu. Anak laki-lakinya menikah dengan anak perempuan Pak Fuad Hasan," ujarnya.
Ada juga makam dua anak dari DC Manoppo yang meninggal karena sakit di usia muda sekitar di bawah 10 tahun.
Di sekitar situ juga ada makam kerabat, seperti Almarhum Djogoegoe Abo Pusung Abraham Sugeha, kakek dari mantan Bupati Bolmong Marlina Moha Siahaan. Juga ada makam AH Gobel, anak Raja Bolaang Uki yang merupakan kerabat dekat Raja DC Manoppo.
Makam Raja DC Manoppo seringkali dikunjungi masyarakat BMR.

"Biasanya ramai nanti menjelang bulan suci Ramadan. Mereka yang merupakan keturunan Raja DC Manoppo datang melakukan ziarah, tak hanya dari sekitar BMR, dari Jakarta juga datang ke Kotamobagu menyempatkan berziarah," ujar Abdullah

Sejarah Patung Bogani di Tanah Totabuan

 

Sejarah Patung Bogani di Tanah Totabuan, memang untuk diingat. Mereka yang tidak mengenal masa lalunya, akan dikutuk untuk mengulanginya. Begitu kata George Santayana, filsuf asal Spanyol (1863-1952). Begitu pun dengan kita-masyarakat-Bolmong, mungkin harus diingatkan kembali dengan sejarah Bogani. Tak banyak generasi muda yang mengenal dan tahu siapa Bogani, bahkan hanya untuk seonggok patungnya pun, mungkin sebagian masyarakat Bolmong tidak atau belum mengetahui sejarahnya.
Menurut sejarah, Alex B. Wetik yang merupakan salah satu pendiri Jurusan Seni Rupa di Lembaga IKIP Manado atau UNIMA, ia adalah pelukis sekaligus pematung yang mendesain Patung Bogani di Kelurahan Kotobangon. Ia pun dikenal membuat patung di antaranya, Patung Sam Ratulangi, Patung Yesus di Gereja Katolik St. Ignasius Manado, Relief di Gedung Bukit Inspirasi Tomohon, Patung Sam Ratulangi di Tondano, Patung Sarapung dan Korengkeng di Tondano dan Patung Bogani di Kotamobagu, pun masih banyak karya-karya lainnya.
Akan tetapi, sumber lain yang merupakan budayawan Bolmong, Chariun Mokoginta mengatakan, dari hasil penelusurannya. Pelukis dan pematung yang membuat Patung Bogani adalah Tawakal Mokodompit.
“Menurut sepengetahuan saya, Tawakal Mokodompit yang membuat Patung Bogani. Kiprahnya dalam seni lukis pun hingga ke ibukota Jakarta. Dia bersama Pak Tino pernah mengisi program acara Mari Menggambar di stasiun TVRI dulu. Adiknya pun Harsono Mokodompit adalah seorang pelukis.
Tapi saya pernah menelusuri keberadaan mereka, hingga diketahui keduanya sudah meninggal dunia. Yang saya kenal, keduanya adalah budayawan sekaligus pematung di Bolmong,” tutur Chairun saat ditemui di kediamannya di Kelurahan Genggulang Kecamatan Kotamobagu Utara, Rabu (26/11) kemarin.
Kedua kakak beradik itu menurut Chairun, sangat memperhatikan kebudayaan Bolmong dari segi adat istiadat, semboyan-semboyan budaya, juga simbol-simbol.
“Setahu saya juga keduanya itu di masa muda mulai eksis di dunia seni. Seingat saya saat kepempimpinan Bupati O.N Mokoagow, mungkin di periode tahun 66-76, Patung Bogani dibuat,” tutur Chairun, sambil mengingat-ingat.
Diceritakan pula olehnya, tokoh Bogani yang menjadi Patung Bogani adalah Bogani Paloko. Sebab yang bermukim di sekitar aliran sungai dan wilayah Kotobangon sampai ke Puncak Ilongkow adalah Bogani Paloko.
“Ada begitu banyak bogani, ada Bogani Inde Indou, Inde Dikit, Dugian, Paloko, Ponamboian, Dondo, Pongayow, Lingkit, Mogedag dan masih banyak lagi. Tapi menurut saya,yang menjadi tokoh Patung Bogani adalah Bogani Paloko. Sebab dulu yang berdiam di sekitar aliran sungai adalah Bogani Paloko dan masyarakat yang dipimpinnya,” urainya, sambil mempersilahkan wartawan koran ini, untuk minum teh yang dihidangkan istrinya.
Diketahui ada dua sebutan untuk Bogani bagi laki-laki dan Bogani untuk perempuan. Dari bahasa ‘purba’ Mongondow, diartikan Bogani adalah manusia yang bisa menghilang.
“Artinya Bogani itu manusia yang bisa menghilang. mereka pun dipilih karena sifat dan sikap mokodotol atau patriotisme yang dimilikinya,” terangnya.

Tumomongondow/Berbahasa mongondow

SAYA SELALU BERSYUKUR DAN BANGGA  TERLAHIR SEBAGAI SUKU MONGONDOW. SAYA JUGA LEBIH SENANG MENGGUNAKAN BAHASA MONGONDOW UNTUK BERKOMUNIKASI SEHARI-HARI  KETIMBANG MENGGUNAKAN BAHASA LAINNYA.
Saya memang sengaja menulisnya dengan mengunakan huruf kapital  tapi bukan bermaksud mengangkat isu kesukuan atau primomordialisme. Ini hanya bentuk luapan keprihatinan saya, sebagai refleksi saya ketika melihat keberadaan bahasa Mongondow sekarang ini.
Saya memang bukan budayawan, bukan ahli sejarah, bukan ahli bahasa, bukan juga pakar linguistik. Tapi ketika saya melihat keberadaan bahasa Mongondow terutama di Kotamobagu. Saya berpikir ini sudah memasuki fase  memprihatinkan. Betapa tidak, penduduk Kotamobagu yang notabenenya hampir 100% adalah berasal dari suku Mongondow ternyata kesehariaannya jarang terdengar menggunakan bahasa mongondow untuk berkomunikasi, terlebih bagi anak-anak muda  dan bukan hal yang tidak mungkin  20 tahun akan datang bahasa Mongondow akan punah.
Saya teringat pada suatu ketika saya dan teman saya sedang asyik bercengkrama di dego-dego yang berada di halaman rumah, tiba-tiba pembicaraan kami teralih sejenak ketika ada seseorang yang lewat, dengan sedikit menurunkan volume suaranya teman saya bertanya kepada saya “ko ta’awanmu ki’ine tatua?”(kamu tahu siapa dia itu?) jawabku “O’o kota’awanku sia ”(iya saya tahu dia) dengan nada ketus teman saya berkata  “sia tatua bagu pitu notaong ilumuay kon lipu’ yo no’ibuimai kon lipu’ nokoliongannya bidon in tumomongondow. yo  takolipud oyu’on intau Mongondow opat nopulu kapin notaong kon bolanda yo noiangoimai kon lipu yo umuranbi’ kota’awannya tumomongondow” (dia itu baru tinggal diluar daerah  selama tujuh tahun setelah pulang sudah lupa dengan bahasa mongondow. Sedangkan dulu ada orang Mongondow selama empat puluh tahun lebih tinggal di Belanda lalu datang kembali ke kampung, masih selalu ingat dengan bahasa Mongondow)
Saya berpikir dan membandingkan antara orang yang sudah 40 tahun lebih tinggal di Belanda masih tetap ingat dengan bahasa mongondow, dengan orang yang baru 7 tahun tinggal luar daerah  sudah lupa dengan bahasa Mongondow? Kenapa bisa seperti itu?  saya juga belum tahu penyebabnya. Tapi saya yakin, ini tidak ada hubungannya dengan kemampuan daya ingat  ataupun tingkat intelegensi seseorang

Sejarah Singkat Bolaang Mongondow 

Hasil gambar untuk bogani bolaang mongondow

Mitologi Dan Asal-Usul Masyarakat Bolaang Mongondow.
.Asal-Usul Penduduk-
Hikayat yang berkembang secara turun temurun tentang asal usul manusia yang mendiami daratan Bolaang Mongondow, Berawal dari masa terjadinya kenaikan permukaan air, Sehingga hampir semua daratan tenggelam tertutup air. Menurut hikayat ini, Pada waktu itu terjadilah air pasang yang melanda semua daratan dan membenamkannya dibawah permukaan air. Sehingga, yang tersembul tinggal satu tempat yang dikenal dengan gunung Komasaan atau Huntuk, Yang dikala itu termasuk puncak yang tertinggi. Tempat ini sekarang disebut Huntuk Baludaa dihulu sungai Ilanga sekitar 40 Km dari Bintauna.
Pada masa itu, yang mula-mula tinggal disana satu-satunya manusia bernama Gumolangit atau Budolangit, Yang artinya manusia turun dari langit.
Sekali waktu Gumolangit berjalan mengelilingi gunung sambil menyusuri pantai, Tiba-tiba tampak olehnya seorang laki-laki ditengah laut yang sedang berjalan diatas ombak menuju ke pantai. Setibanya di pantai,pecalah ombak dan bertepatan dengan itu, muncullah seorang wanita dari pecahan ombak tersebut.Jadi, saat pendatang asing itu melangkah kedarat, ombak besar menghambur ke pantai dan dari pecahan ombak ini muncul pulah seorang wanita. Karena itu, Gumolangit menamakan Laki-laki itu “Tumotoi Bokol”, yang artinya meniti pada ombak. Sedangkan si wanita dinamakan “Tumotoi Bokat”, artinya keluar dari pecahan ombak.
Kemudin Gumolangit meneruskan perjalanannya di tepi laut hingga ia merasa lelah dan haus. Tiba-tiba ia melihat seruas bambu. Setelah di amat-amati, ternyata bambu tersebut tidak mempunyai ruas. Sepotong bambu itu merupakan pipa yang ujung ruasnya tidak berbuku. Diambilnya bambu itu dan menujulah dia ke suatu sumber mata air yang mengalir dari celah_celah batu.
Ketika hendak mengisi air, Tangan Gumolangit yang satu dipakai menutup ujung bambu bagian bawah, agar tidak terbuang. Setelah bambu terisi penuh, Gumolangit hendak meminumnya. Namun terjadilah suatu keajaiban. Dari bambu itu tak setetes pun air yang keluar untuk dapat diminum. Beberapa kali dia berusaha menuangkan air ke mulutnya. Tetapi air itu tidak pernah keluar dari bambu.
Sementara Gumolangit terheran-heran dan bertanya-tanya tentang ihwal kejadian itu, Tiba-tiba potongan bambu itu pecah berserakan dan secara ajaib berdirilah seorang perempuan di depannya. Karena terkajut, sampai-sampai dia terlompat ke udara. Gumolangit menamakan perempuan ini “Tendeduata”, yang bermakna pujaan dewa.
Selanjutnya, keempat manusia ini tinggal bersama di puncak Gunung Komasaan. Kemudian mereka menjadi dua pasanga suami-istri Gumolangit-Tendeduata dan Tumotoi Bokol-Tumotio Bokat.
Beberapa waktu terselang, pasangan Gumolangit dan Tendeduata dikaruniai seorang anak perempuan cantuk yang diberi nama Dinondong (yang dieluk-eluk). Tumotoi tumotopi Bokol dan Tumotoi Bokat dianugerahi seorang seorang anak laki-laki yang di beri nama Sugeha.
Setelah dewasa- atas kesepakatan kedua orang tua masing-masing – keduanya di kawinkan. Dari perkawinan Sugeha dan Dinondong, lahirlah seorang anak laki-laki yang di beri nama Sinudu (penerus/penyusul). Ketika telah dewasa, Sindu kawin denga seorang perempuan yang bernama Golingginan (hidup sederhana).
Sinudu dan Golinggian beroleh anak perempuan yang dinamai Sampoto. Sampoto artinya ingin memperoleh wanita. Setelah mencapai dewasa, Sampoto kawin dengan Daliian (Daliyann = ingin mengulang kembali). Perkawinan mereka dianugerahi tiga anak masing-masing bernama: Pondaag, Daagon dan Mokodaag.
Pada usia dewasa, Daagon dikawinkan dengan Dampulolingdan tidak lama kemudian memperoleh anak: Silagondo.
Tahun-tahun terus berganti. Makin lama penduduk makin bertambah. Seiring pertumbuhan penduduk, permukaan air pun semaki surut dan bermunculan banyak daratan. Sejak itu, dimulailah persebaran manusia ke seluruh penjuru Bolaang Mongondow. Bahkan pada masa itu pilah, mulai terbentuk pemukiman-pemukiman (totabuan) baru yang satu sama lain saling berjauhan. Melalui perjalanan waktu, makin lama pertumbuhan pendudukmakin meningkat dan lambat laun manusia tidak saling mengenal lagi.
Ada yang menetap di tempat semula (Huntuk). Ada pulah yang menuju pantai Utara dan kearah pedalaman sebelah timur dan selatan. Yang menuju ke Utara mendiami tempat dan wilayah Pandoli, Sinumolantaan, Ginolantungan, Buntalo, Maelang dan lain-lain. Yang ke pedalaman dataran Mogutalong/dataran Mongondow, menuju Tudu in Passi, Tudu in Lolayan, Tudu in Sia, Polilian, Alot, Batunoloda, Batu Bogani dan sebagainya. Yang menuju ke pedalaman sebelah selatan mendiami tempa-tempat seperti Bumbungan, Mahag, Tabagolinggot, Tabagomamang, Siniyow, Dumoga Mointok, Dumoga Moloben dan lain-lain.
Tempet-tempet ini kemudian berkembang menjadi wilayah pemukiman yang luas. Denagan berkembangnya penduduk di masing-masing wilayah atau kelompok, mereka pun mengangkat kepala kelompok sebagai pimpinan yang berfungsi mengatur tata tertib kehidupan di pemukiman. Orang-orang yang di pilih biasanya mereka yang di nilai cerdik, kuat dan berani. Kepala-kepala kelompok atau pimpinan ini disebut Bogani (gagah dan berani).
Bogani-bogani yang terkenal dimasa itu antara lain: Bogani Damoluwo’ dan Pongayou di Tudu in Passi, Bogani Binongkuyu’ di Tudu in Bakid di Pontodon, Bogani Lingkit di Tudu in Yanggat dan Bogani Dondo di Tudu in Bilalang di Bilalang. Kemudian Bogani Mogedag dan Bogani Bulumondow di Tudu in Lolayan, Bogani Bolongkasi di Buluan, Bogani Rondong dan Bongiloi di Poliian, Bogani Manggopa Kilat dan Salamatiti di Dumoga Moloben, Bogani Amaliye dan Inaliye di Bumbungon, Bogani Damonegang di Tudu in Babo, Bogani Punu Gumolung di Ginolantungan dan sdebagainya. Sedangkan Bogani-bogqani wanita seperti: Salamatit dan Inaliye, kira-kira hidup pada abad XIII dan Inde’Dou’ pada abad XV.
Dapat di kemukakan di sini, hikayat persebaran penduduk yang berpindah menggunakan perahu yang mendarat di sekitar muara sungai Ongkag Lombagin dan sungai Sumoit di tempat-tempat yang kemudian dinamakan bangka’ dan panag. Perahu yang digunkan adalah sejenis perahu besar yang disebut bangka’ dan perahu yang lainnya disebut panag. Hikayat ini mempunyai muatan aspek histories yang sangat vital. Fakta empiris ini, antara lain, dapat menunjukan dan membenarkan dugaan bahwa di masa purba kala terdapat dua buah danau besat di pedalaman Bolaang Mongondow. Uraian ini di kutip dari penjelasan penerjemah buku Dunnebier, Mengenal Raja-raja Bolaang Mongondow(1998:88-90).
Penduduk yang dating dengan menggunakan bangka’ dan panag, mereka mendiami dataran disekitar dua sungai yang disebutkan diatas. Karena sering banjir besar, pemukiman bangka; dan panag ter ancam, baik oleh banjir itu sendiri maupun ancaman gelombang laut. Penduduk pindah menyelamatkan diri. Sebagian menyusuri pantai dan sebagian yang terdiri dari beberapa kelompok, memilih mencari tempat yang dirasakan lebih aman. Dengan bermodalkan keberanian, tekad dan semangat yang tinggi dengan di pimpim lepala kelompok, mereka mencari pemuliman baru dengan menyusuri aliran sungai menuju ke timur.
Kelompok-kelompok ini menyusuri sungaiOngkag Lombagin. Ketika tiba di tempat pertemuan (bersatunya) Ongkag Mongondow dan Ongkag Dumoga mereka terhenti, karena terjebak dalam hutan lebat yang dilingkupi barisan petunungan berlapis-lapis yang mengapit kedua Ongkag ini. Untuk dapat melanjutkan perjalanan, rombongan ini mengadakan peninjauan sambil menengok keatas (ilumangag), kearah gugusan pegunungan manakah yang harus di tembus. Ditempat ini pula berdirilah kampong yang sekarang bernama Langagon.
Perjalanan dilanjutkan mengikuti huku ongkag Mongondow dan tiba di tempat yang sekarang Desa Solimandungan. Konon, nama desa itu berasal dari kata “Pinolimanonan”, tolimanon yang artinya saling menunggu kawan atau anggota rombongan lain yang tertinggal di belakang. Kemudian kelompok berjalan terus sampai di tempat yang letaknya di Desa Komangaan sekarang ini dan beristirahat. Mereka merasa legah dan betah di tempat ini, “Noanga” (kinoangaan), yang menjelma jadi Desa Komangaan.
Rombongan selanjutnya menembus hutan rimba sambil memberi tanda dengan parang pada pepohonan yang dilewati, yaitu “Taga”, tempat yang sekarang di namakan Sinagaan. Taga’ merupakan penunjuk jalan bagi mereka yang berada di belakang.
Setelah berjalan beberapa hari, kelompok ini tiba di suatu tempat yang sekarang disebut Desa Muntoi. Nama Desa ini berasal dari kata “Noontoy”, dan bermaknah hasil jerih payah yang terkumpul selama dalam perjalanan.
Setelah melewati Muntoi, mereka dating ke lembah kecil yang terbenam di tengah-tengah pegunungan “Motuyobong” atau “Noilobong”, di tempat pertemuan kali Ongkag dan kali Lobing, di Desa Lobong sekarang. Dari sini pengembaraan ditengah hutan dilanjutkan mengikuti lereng “Nogalet” sampai ke atas puncak bukit “Otam”.
Otamon merupakan jenis tumbuhanyang dapat melukai tangan jika mencabutnya tidak hati-hati. Nama tempat ini sekarang berada di Desa Otam dan Desa Wangga. Wangga sebelumnya disebut “Ponugalan” dan berasal dari kata “Tugal” (lubang-lubang kecil) untuk menanam padi dengan menggunakan sepotong bambu atau kayu. Di Tudu Wangga ini pernah di temukan perahu yang di gunakan orang pada masa dahulu.
Lambat lain, seiring dengan pertambahan penduduk, rombongan pengembara ini mencari tempat pemukiman-pemukiman baru. Mereka menjadi kelompok-kelompok yang besar dengan tempat yang makin terpisah satu sama lain. Sehingga, munculnya pemimpin-pemimpin kelompok (bogani), makin menyemarakkan migrasi orang Bolaang Mongondow.
Bahkan lamban laun para bogani itu ,emjelajahi daratan Mongondow (asl kata: Momondow), yang artinya teriakan-teriakan panjang saling bersahutan sebagai tanda atau kode agar tidak kehilangan komunukasi satu sama lain ditengah-tengah daratan hutan belantara yang luas. Dilembah yang luas ini ditemukan banya kali-kali kecil, pohon sagu dan pohon dammar yang getah nya dapat dipakai untuk lampu atau penerangan. Pohon in I dinamakan “Damag-Talong”. Karena itu, dataran yang luas ini dinamakan :Lopa’ in Mogutalong”. Kini, dikenal sebagai wilayah Passi dan Lolayan.
Agaknnya, setelah Gumolangit kawin dengan Tendeduata, dan mendapat anak Dinondong di Huntuk, Baludaa di Bintauna, dia dating ke Dumoga. Seterusnya, kawin lagi dengan Sandilo di Bumbungon. Orang tua, kake dan nenek, bahkan leluhur Sandilo, tentu lahir dahulu dari Gumolangit. Masyarkat Bumbungon serta pemukiman-pemukiman di sekitarnya seperti Mahag, Tobago, Linggot, Tobagomamang, Siniyow, Dumoga mointok dan Dumoga moloben, penduduknya sudah berkembang demikian pesat. Akan tetapi, masi adah generasi yang lebih tua. Mereka seperti yang terdapat dan hidup di Bunbungon dan sekiternya pada abad sebelum atau sekitar panjajahan Portugis.
Salah satu bukti bahwa di bumbungon dan sekitarnya telah berkembang suatu kehidupan masyarakat yang luas, pada saat pecahnya selaput bayi yang bernama Mokodoludut. Orang-orang yang hiruk pikuk yang brlarian dating melahat dan gemuruh bunyi permukaan tanah dilewati kelompok-kelompok manusia dinamakan Mokodoludut, yang artinya menimbulkan gemuruh. Sebaliknya, bagaimana pertumbuhan keluarga Gumolangit di Huntuk dan sekitarnya, setelah Silangondo tidak ada lagi riwayat lanjutannya. Ini berarti bahwa pusat kehidupan masyarakat Bolalang Mongondow pada wakti itubukanlah di Huntuk, Baludaa Bintauna dan sekitarnya. Tapi konsentrasi dan pertumbuhan penduduk justru berkembang di Bumbungon dan sekitarnya. Karena penduduk sudah berkembang luas, disinilah lahir Raja peertama Bolaang Mongondow itu. Kalau Gumolangit dan keturunan, baik di Huntuk Baludaa maupun di Bumbungon Dumoga, hidup dalam tahun 1200-san atau 1300-san, timbul pertanyaan siapa manusia atau dimana asal usul penduduk Bolaang Mongondow yang mendahului periode kehidupan generasi Gumolangit.
Menurut pendapat bahwa manusia atau penduduk Bolaang Mongondow yang hidup lebih awal dari dari masa kehidupan Gumolangit dan keturunannya, baik di Huntuk maupun di Bumbungon, adalah orang-orang atau penduduk Bolaang Mongindow yang hidup dimasa dataran Mongondow dan Dumoga masih berupa dua buah danau yang besar. Penduduk ini adalah mereka yang menggunakan perahu-perahu yang pernah di temukan di desa Wangga sekarang.
Dengan argumentasi ini, maka leluhurnya, putri Sandilo di Bumbungon maupun Gumolangit, bukanlah manusia pertama etnik Bolaang Mongondow. Manusia-manusia yang hidup dan mendiami Bolaang Mongondow pada masa dataran Mongondow ( Mogutalong) dan Dumoga masih merupakan danau, adalah orang-orang yang diperkirakan sebagai laluhur-leluhur penduduk asli Bolaang Mongondow. Kapan perioda keberadaan Danau Mogutalong dan Danau Dumoga, akan dapat di perkirakan setelah ada data terjadinya letusan dahsyat Gunung Ambang pada masa itu. Dan data ini akan dapat ditemukan dalam buku-bukugeografi dan sejarah.
Selanjutnya, tantang hikayat Tendeduata yang berasal dari pecahan Bambu Kuning. Karena sifat ceritanya yang bernada aneh,tentunya diperlukan pemahaman yang rasioanal. Bila di analisis secara nalar, maka konteks probabilitas yang dapat diterima akal sehat memperkirakan, Tendeduata sedang mempersembunyikan diri dalam rumpun Bambu ketika Gumolangit mengambil seruas bambu.
Tentang Tumotoi Bokol dan Tumotoi Bokat, keduanya di kategorikan sebagai bagian dari manusia pendatang (Imigran). Menurut sejarah penduduk Indonesia, asal usul mereka atang dari rumpun palae mongoloid di Indo Cina dan Asia Tenggara. Karena mereka tiba di daratan Bolaang Mongondow melalui laut, dinamakan Tumotoi Bokol dan Tumotoi Bokat.
Mengenai asal-usul penduduk Bolaang Mongondow banyak yang berpendapat bahwa mereka beasal dari Filipina, terutama dari pulau Mindanau. Dugaan ini diperkuat dengan data bahasa (bukan kesamaan bahasa)antara bahasa tagalong di Filipina dan bahasa Mongondow. Misaknya, kat-kata yang sama arti dan penggunaanya seperti: loluang (jalan), tondok (pagar), tubig (air), manuk (ayam), penghulu dan sebagainya. Kemudian, kalau dilihat dari aspek antropologis, strutur fisik antara orang-orang Mindanaudan Bolaang Momngondow, hampir tidak ada perbedaan yang menyolok.
Arus pelayaran manusia dari Filipina, khususnya dari Mindanau di sekitar penjajahan Portugis dan Spanyol baik sebagai nelayan maupun sebagai bajak laut, masih tetap tinggi hingga abad XV. Bogani-bogani Inde’ Dou’, Inde’ Dikin dan lainnya, adalah bogani-bogani yang antara lain, mempunyai tugas utama memberantas perampok dan perompak dari Mindanau. Sebagai suatu bukyi, saat Tadohe dan pembantunya mendarat di laut sekitar Desa Togid, pada awalXVI (1600), Inde; Dou’ hampir membunuhnya, karena disangkah perompak dari Mundanau.
Dou’ alias Inde’ Dou’, ketika itu merupakan pemimpin rakyat adalah seorang wanita yang mewarisi kekuasaan Punu’ Damopolii dan menguasai wilayah Minahasa Selatan, mulai dari Ratahan – Pontak – Buyat dan seluruh Kecamatan Kotabunan sekarang.
.Penyebaran Penduduk
Menurut riwayat, hubungan Bolaang Mongondow dan Minahasa sudah terjalin sejak dari masa purba. Puteri Punu’ Mokodoludut, yang bernama Ginsapondo, adalah perintis pertama yang dating ke Minahasa dan kemudian merupakan asal keturunan dari beberapa pemimpin dan tokoh-tokoh di Minahasa. Perpindahan Ginsapondo ke Minahasa, terjadi pada awal abad XV.
Kemudian menjelang akhir abad XV, Punu; Damopolii dikenal sebagai cucu Punu’ Mokodoludut, dating ke Minahasa dan kawin dengan Wulan Uwe Randen yang kemudian disebut Tende in Bulan atau Tendeduayo’.
Di Minahasa dikenal sebagai manusia perkasa dan dinamakan Ramopolii. Damopolii banya mengembara ke Minahasa Utara, Siau, Kema da Likupang. Dalam perjalanan pengembaraan sebagai kebiasaan orang-orang perkasa di zaman purba, diperkenankan untuk kawin yang di Mina-hasa disebut Tateon. Asal kat ini, tot berarti pegang. Nama-nama marga Ramopolii, Damopolii< Polii adalah nama marga yang kini masih berkembang di Minahasa, Biotung dan Manado.
Punu’ Busisi* adalah putra Punu’ Damopolii. Beliau mengikuti jejak ayah nya yang banyak mengembara ke Minahasa. Ia kawin dengan Limbatondo. Puterenya di beri nama Makalalo. Makalalo adalah asal nama minahasa. Konon, karena neneknya Minahasa. Setelah makalalo menjadi Punu’ menggantikan ayah nyak, iya kawin dengan puteri Minahasa Wulan Ganting-ganting dari Mandolang dekat Tateli. NAma-nama Makalalo, Lalo atau Lalu, adalah marga-marga yang kini tetap hudup di Minahasa dan daerah-daerah sekitarnya.
Setelah Punu’ Makalao digantikan putranya Punu’ Mokodompit, Mokodonpit kawin dengan Menggeyadi, seorang putrid berasal dari pulau Lembeh Minahasa, Kotamadya Bitung sejarang. Kemudian Mokodompit kawin dengan Gogune ke Sangir Talaut sekitar 1580.
Puteranya Tadohe lahir di sini dan kembali ke Bolaang Mongondow pada 1600. Turunan Mokodompit di Sangir Talaut, kini dikenal dengan Mokodompis. Kebudayaan kuna antara Bolaang Mongondow dan Sangir Talaut, dalam beberapa hal, ada kesamaan. Menurut sarasehan Budaya se-Sulawesi Utara1981, ada kata-kata yang mengandung kemiripan (kognat). Misalnya kabela (Bolaang Mongondow) dan kawela (Sangir Talaut) untuk alat tempat sirih. Alat kesenian pun ada kesamaan istilah seperti: rambabo, bansi dan tantabua. Tri Tayok banyak kesamaan dengan tari Gunde di Sangir Talaut. Bahkan mungkin nama tari Gunde ini di ambil dari nama istri Mokodompit, yaitu Gogunde.
Seorang putra Tadohe. Loloda Mokoagow menjadi Raja pada tahun 0650-1694. Loloda Mokoagow disebut Raja Bolaang Mongondow dan Minahasa. Karena, Minahasa berada di bawah kekuasaanya. Loloda Mokoagou di namakan juga Raja Manado. Bahkan leluhur Raja Loloda Mokoagow pernah menguasai Desa Bonton di Gorontalo (Valentijn, dalam Dunebier, 1983:27).